Mohon tunggu...
Dodi Mawardi
Dodi Mawardi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Penulis kreatif sudah menghasilkan puluhan buku, antara lain Belajar Goblok dari Bob Sadino dan Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani. Selain aktif menulis, juga sebagai dosen, pendidik, dan pembicara bidang penulisan, serta komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Belajar Teknik Sedot Air ala Kolonel Simon

9 Januari 2019   20:27 Diperbarui: 9 Januari 2019   20:51 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Simon bersama kawan NTT-nyaalumni SMA Taruna Nusantara

Ghalibnya, seorang prajurit itu lekat dengan bedil. Tak adatentara tanpa senapan. Itulah sebabnya, para komandan menanamkan doktrin antikkepada anak buahnya, bahwa istri pertama mereka adalah senjata, bukan seorangwanita. Hal yang sampai saat ini, belum pernah menjadi sebab musababkecemburuan para istri tentara. Hebat. 

Namun prajurit yang satu ini berani berbeda. Tak mau samadengan kebanyakan anggota TNI lainnya. Walaupun tak menolak doktrin atasanbahwa senjata adalah istri pertama, tapi pada praktiknya dia menjadikan bendalain sebagai pendamping utama. 

Bukan sangkur, bukan pedang, bukan pula tankbaja, melainkan pompa air. Ya, perwira asal NTT (Nusa Tenggara Timur) ini sejak 5 tahun lalu, ketika pangkatnya sudah letnan kolonel, memilih pompa air sebagai fokus utamanya. Berkat pompa air itulah, namanya dikenal oleh parajenderal dan dirindukanwarga. Karena pompa itu pula, pangkatnya melonjak tiba-tiba. 

Namanya Simon Petrus Kamlasi, pria kalem asli kelahiran NusaTenggara Timur. Tuhan memberkatinya dengan otak cerdas, meski berasal darikampung yang sebagian besarnya warganya adalah orang miskin. Kedua ayah bundanya berprofesi sebagai guru. Sejak kecil, Simon bercita-cita menjadi insinyur. Profesi yang memang sudah lama digandrungi anak kecil seluruh Indonesia, selain dokter, tentara, polisi dan pilot.

Kondisi alam di NTT sudah terkenal kerasnya. Kering. Gersangdi sebagai wilayahnya. Ketika musim kemarau tiba, maka kebanyakan warga pastikesulitan air bersih. Emas dan berlian kalah berharga dibanding air, pada saatitu. 

Simon mengalami sendiri bagaimana dia bekerja ekstra keras untuk mendapatkan seember air. Dia harus berjalan jauh dari rumahnya, turun naikbukit bersimbah peluh, demi mendapatkan sumber kehidupan itu. Nyaris setiaphari, selama masa kecilnya. Hal yang begitu membekas sampai dewasa. 

"Saat aku mampu, aku akan membuat suatu alat yang bisamembantu mendekatkan air ke pemukiman agar tidak perlu membuang waktu, tenaga danbiaya bagi orang kampung, orang kecil," begitu tekadnya kemudian, yangmenguatkan dirinya untuk menjadi seorang insinyur. 

Plot kehidupan tampaknya mulai berpihak kepada Simon.Selepas SMP, dia mendapatkan beasiswa belajar lanjutan di SMA Taruna Nusantara.Sebuah sekolah yang dibangun oleh Jenderal L.B. Moerdani untuk mencetak calonpemimpin bangsa, dengan sistem asrama di Magelang Jawa Tengah. Seluruh siswanyaberasal dari pelosok Nusantara, dipilih yang berprestasi, dan gratis biayasampai lulus. 

Simon bersama beberapa pemuda NTT, termasuk di dalamnya. Di SMAitu, cita-citanya menjadi insinyur semakin menjadi-jadi. Kian dekat menjadikenyataan. Kawan-kawan SMA-nya mendukung. Pola belajarnya menyokong. Materi akademik di SMA itu membantu Simon menguasai ilmu pengetahuan eksakta;matematika, fisika dan kimia. Anak kampung di NTT itu tidak kalah cemerlangdibanding siswa dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, yangsebelumnya dianggap lebih cerdas di bidang akademik.

Simon bersama kawan NTT-nyaalumni SMA Taruna Nusantara
Simon bersama kawan NTT-nyaalumni SMA Taruna Nusantara
Bukan kebetulan kalau saya juga termasuk teman seperjuangan Simon di SMA itu. Di kawasan dusun Pirikan, Mertoyudan, Magelang. Lokasinya hanya selemparan batu dari kampus Akademi Militer. 

Saya menyaksikan sendiri bagaimana cerdasnya kawan-kawan dari luar Jawa, termasuk dari NTT, Maluku dan Papua. Pada berbagai ajang lomba ilmiah, mereka termasuk tulang punggung sekolah. Saya tak merasa heranjika kemudian, mereka semua berprestasi dalam tugasnya masing-masing diberbagai bidang. Termasuk Simon Petrus Kamlasi.

Sayang karena alasan biaya, Simon tidak jadi menunaikanimpiannya menjadi insinyur selepas SMA. Dia memilih menjadi anggota TNI AD.Namun selama di Akademi Militer, minatnya ke bidang teknik tetap menonjol.Sehingga ketika bertugas kemudian pun, bidang itulah yang didalaminya. Inilah cikal bakal pria yangkini sudah berpangkat kolonel itu, menciptakan dan mengembangkan pompa airhidrolik ala Simon. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun