Mohon tunggu...
Anta Nasution
Anta Nasution Mohon Tunggu... Ilmuwan - Laut Biru

Ocean never betray us! Ocean doesn't need us, indeed we need ocean.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Cerita Mengenai Konflik Kelas: Kapal Merah (2)

6 Januari 2017   20:25 Diperbarui: 6 Januari 2017   20:47 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Kapal Merah Part 1

Angin malam berhembus dengan lihainya, membuai setiap manusia di desa pesisir Mangur ingin cepat-cepat masuk ke peraduannya. Suara binatang malam bersautan, bernyanyian dengan dengan indahnya, berbicara dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh sejenisnya. Di desa ini hanya terdapat tiga rumah mewah, rumah-rumah tersebut memiliki halaman yang luas dan langsung menghadap ke lautan. Ketiga rumah tersebut masing-masing dimiliki oleh Pak Enok yang anak laki-lakinya dibunuh dan mayatnya ditemuka di palka kapal ikan miliknya, Pak Olong, dan Pak Gori. Ketiga orang tersebut adalah para pemilik kapal ikan. Ada satu rumah yang paling besar dan mewah, rumah itu merupakan bangunan Belanda, pemilik dulunya adalah seorang pengusaha kaya raya asal Belanda yang mempunyai perusahaan kapal dagang. Saat ini rumah bercorak Belanda tersebut adalah milik Pak Gori.

Pak Gori merupakan orang terkaya di desa pesisir Mangur, ia memiliki 20 kapal ikan, namun sifatnya yang buruk, menjadikannya dibenci oleh warga kampung. Pak Gori berusia 47 tahun, badannya gemuk dan selalu memakai sarung ketika ia di rumah. Kulitnya hitam legam karena sedari kecil ia selalu pergi melaut untuk mencari ikan, ia merupakan seorang pekerja keras. Pak Gori lahir dari keluarga miskin, namun ia tak pernah menyerah pada kehidupan. Ia tak segan menggunakan cara-cara tidak halal untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Semua berubah ketika umurnya 30 tahun, ia mengikuti lotere dan memenangi hadiah yang cukup untuk membeli satu kapal ikan. Dari sana ia mengoperasikan kapalnya sendiri dengan dibantu beberapa nelayan. Namun ketika usahanya semakin maju dan memiliki lima kapal ikan, ia berhenti melaut dan mempercayakan kapal-kapal ikannya ke nelayan-nelayan yang bekerja padanya.

Pak Gori sempat menikah pada umur 28 tahun. Selain sifatnya yang pelit, ia juga terkenal senang berjudi, meminum minuman keras, dan bermain wanita. Istrinyapun sering dipukuli dan jarang diberikan uang. Bahkan ia tidak mau menyewa pembantu untuk mengerjakan pekerjaan rumah, karena pikirnya akan menambah beban pengeluaran. Ia memaksa istrinya untuk membereskan rumah, andai ia pulang ke rumah dan menemukan rumah masih kotor, ia akan langsung memukuli istrinya tanpa henti. Pernikahannya hanya bertahan tiga tahun, istrinya kabur darinya dan tidak pernah kembali. Pak Gori tidak mempunyai anak dan sampai hari inipun ia tidak menikah lagi, ia lebih memilih untuk meniduri wanita-wanita di rumah bordil untuk memuaskan hasrat seksualnya.

Pak Gori sedang duduk di beranda rumahnya dengan ditemani rokok dan minuman keras. Wajahnya terus melihat ke halam rumahnya, seperti sedang menunggu seseorang. Jam sudah menunjukan pukul 20.00. “Mana ini si dablek, kok jam segini belum ada laporan,” gerutunya kesal.

Tak lama kemudian dari kejauhan terlihat seorang lelaki berusia 30 tahunan berjalan menuju rumah Pak Gori. kepalanya botak, bertelanjang dada, memakai celana sontok hitam, dan mengikatkan sarung di pinggang. Badannya kekar dan selalu menyelipkan belati di pinggang, lelaki itu adalah Dablek, tangan kanan Pak Gori yang sangat kejam dan sangar.

“Pak Gori, saya sudah menugaskan tiga orang untuk menagih ke rumahnya, tetapi hasilnya nihil, malah kabar terakhir yang saya dengar, orangnya barusan saja mati,” ujar Dablek sambil berdiri menghadap Pak Gori.

“Goblok! Masa suruh nagih gitu aja ga bisa, kan bisa acak-acak rumahnya, siapa tau ada emas atau barang berharga yang bisa disita”.

“Sudah pak, tetap saja tidak ada satu pun barang berharga yang ada di rumahnya”.

“Orangnya mati karena kamu bunuh atau gimana?”

“Tidak pak, yang saya dengar dia mati karena sakit keras,”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun