Mohon tunggu...
Anta Nasution
Anta Nasution Mohon Tunggu... Ilmuwan - Laut Biru

Ocean never betray us! Ocean doesn't need us, indeed we need ocean.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Cerpen Mengenai Konflik Kelas : Kapal Merah (1)

5 Januari 2017   19:50 Diperbarui: 5 Januari 2017   20:08 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Loh kang Cecep idenya bagus tuh, makanya akang-akang sekalian harus nabung biar bisa beli kapal ikan sendiri,” ujar Murni dengan diakhiri senyuman manisnya yang membuat luluh semua nelayan yang ada di situ.

Darman semakin tenggelam dengan pikirannya terhadap masalah yang sedang menimpanya. Darman merupakan tulang punggung keluarganya, ayahnya telah meninggalkan keluarganya semenjak ia berumur 5 tahun. Ia hanya tinggal dengan ibu dan adik perempuannya, ibunya sedang sakit keras, semestinya saat ini ibunya harus mendapatkan perawatan intensif. namun karena himpitan ekonomi yang tidak memungkinkan hal itu terlaksana. Adik perempuan Darman bernama Zulfah, masih duduk di bangku SMA kelas 2. Darman sangat menyayangi adiknya dan tidak ingin Zulfah putus sekolah seperti dirinya.

“Kang Darman kok jadi diam? Kayaknya lagi banyak pikiran ya?” Ujar Murni sambil membereskan gelas-gelas kopi yang sudah kosong. Satu-persatu nelayan meninggalkan warung kopi Nek Sinden, hanya menyisakan Murni dan Darman, Nek Sinden sedang pergi ke pasar untuk membeli barang dagangan.

“Iya Mbakyu,” Darman tertunduk lemas.

“loh pikiran apa? Cerita aja, siapa tau Murni bisa bantu,” Murni keluar dari dalam warung kopi dan duduk di bangku berhadapan dengan Darman.

“Iya Mbakyu, kondisi ekonomi sedang susah, mana harga-harga barang semakin naik, belum lagi kondisi ibu saya yang sakitnya semakin parah dan harus di rawat intensif. Padahal saya berharap banyak upah akan naik pada saat musim panen kali ini”.

“Akang teh ikut kapal ikan punya Pak Gori udah berapa tahun?”

“Ya lima tahun, dari awal jadi nelayan hingga kini”.

“Wah udah lumayan lama juga kang, mungkin kalo akang kepepet, akang bisa minjem duit dulu ke Pak Gori, Murni yakin Pak Gori bakal ngasih pinjem.”

“Jujur saja Murni, Pak Gori itu lintah darat, waktu itu saya pernah minjem duit ke dia, dibayarnya nyicil dan bunganya 20 persen. Pernah sekali waktu cicilan saya nunggak satu bulan, karena uangnya dipakai untuk biaya berobat ibu. Secara sepihak, dia naikin bunganya jadi 40 persen, katanya ini udah ada di perjanjian waktu awal minjem duit. Salah saya juga ga ngecek perjanjiannya dan main tanda tangan aja, ya karena waktu itu benar-benar kepepet buat berobat ibu”.

“Jahat benar Pak Gori, ke nelayannya sendiri aja sampai sebegitunya. Kang Darman yang sabar ya,” raut wajah Murni berubah menjadi sedih mendengar apa yang diomongkan Darman. “Kalau kang Darman bener-bener butuh uang, Murni bisa pinjamkan ke Nek Sinden, bayarnya ga pakai bunga kok kang”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun