Mohon tunggu...
Peni Kharisma
Peni Kharisma Mohon Tunggu... -

Rajin membaca (media sosial) dan berlatih menerjemahkan artikel atau fiksi, sesekali, itu pun kalau sedang rajin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Para Perempuan Bermata Hitam

28 Mei 2018   06:28 Diperbarui: 28 Mei 2018   08:59 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: www.kompasiana.com

Ketenaran datang lewat cara yang tidak diharapkan orang-orang waras, seperti karena diculik dan ditahan bertahun-tahun, dipermalukan dalam skandal seks, atau karena bertahan dari sesuatu yang mematikan. 

Para penyintas ini memerlukan bantuan seseorang untuk menuliskan buku memoar mereka, dan agen-agen mereka akhirnya minta tolong padaku. "Setidaknya namamu tidak tercantum di manapun," ibuku pernah berkata. Saat kubilang padanya kalau aku tidak keberatan muncul di, setidaknya, kolom terima kasih, ia berujar, "Sini, kuberitahu sesuatu." 

Ini akan jadi pertama kalinya aku mendengar cerita tersebut, tapi jelas bukan terakhir kali. "Di kampung kita," ia melanjutkan, "ada wartawan yang menyebutkan bahwa pemerintah menyiksa orang-orang di penjara. Jadi, pemerintah lalu melakukan apa yang ia bilang. Padanya. Mereka membawanya pergi dan tidak seorang pun pernah melihatnya lagi. Itulah yang terjadi pada penulis yang mencantumkan namanya."

Ketika Victor Devoto menunjukku, aku telah mengundurkan diri dari profesi penulis-yang-tak-tercantum-di-manapun itu. Agennya telah memberi Victor buku yang kutulis atas nama seorang ayah, yang anaknya menembaki dan menewaskan beberapa orang di sekolahnya. "Aku dapat mengerti rasa bersalah sang Ayah," ujar Victor padaku. 

Victor sendiri satu-satunya penyintas, yang bertahan hidup dari kecelakaan pesawat yang menewaskan 173 penumpang lainnya, termasuk istri dan anak-anaknya. Apa yang tersisa dalam diri Victor terlihat di acara-acara talkshows: hanya fisiknya yang ada di sana, tak ada yang lain. 

Suaranya monoton pelan, dan matanya, ketika mengawang ke atas, seperti mengandung siluet gelap orang-orang yang berkabung. Para penerbitnya menekankan pentingnya Victor menyelesaikan memoarnya sesegera mungkin, selagi orang-orang masih mengingat tragedi tersebut, dan itulah yang sedang kulakukan ketika aku ditemui oleh kakakku, yang telah mati.

Ibu membangunkanku ketika di luar masih gelap dan berkata, "Jangan takut, ya."

Cahaya dari lorong menyengat melalui pintu yang terbuka. "Takut kenapa?"

Saat dia menyebutkan nama kakak, aku tidak berpikir bahwa yang dimaksud ibu adalah kakakku. Kakak telah meninggal beberapa waktu silam. Aku menutup mata dan menjawab bahwa aku tidak kenal siapapun dengan nama itu, tetapi Ibu bersikukuh. "Ia di sini untuk menemui kita," tegasnya, menyibak selimut dan menarikku hingga bangun dengan mata setengah terpejam. Ibu sudah 63 tahun, lumayan pikun, dan ketika ia menyeretku ke ruang tamu dan terpekik, aku tidak terkejut. "Ia ada di sini," kata ibu sambil berlutut ke dudukan kursi bermotif bunganya ketika ia sampai ke karpet. 

"Basah." Ibu, yang mengenakan piyama katun, merangkak ke pintu depan, mengikuti jejak basah tersebut. Karpet tersebut memang lembab ketika kusentuh. Untuk sesaat aku percaya, dan keheningan rumah di subuh itu terasa tak bersahabat. Namun kemudian aku menyadari suara air hujan di selokan, dan rasa takut tak lagi erat mencengkeram leherku. Ibu pasti telah membuka pintu depan, terkena tempias hujan, kemudian masuk lagi tanpa menutup pintu. Aku berlutut di samping sosoknya yang membungkuk di samping pintu, tangannya di gagang pintu, dan mengatakan, "Itu hanya bayanganmu saja, Bu."

"Aku tahu apa yang kulihat." Ia menepis tanganku dari pundaknya, berdiri, kemarahan tersulut di mata gelapnya. "Ia berjalan. Ia bicara. Ia ingin menemuimu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun