Mohon tunggu...
Ali Eff Laman
Ali Eff Laman Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Lepas Bebas

Orang biasa yang dikelilingi orang luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengalami atau Melihat Pengemudi Kehabisan Saldo E-Toll?

17 Desember 2020   14:38 Diperbarui: 17 Desember 2020   15:19 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. pribadi penulis

            

           Udara pagi Jakarta lebih sejuk dari biasanya semenjak orang-orang yang biasa hilir mudik dengan segala keperluan mulai mengurangi aktifitas di luar rumah. Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) aturan yang membatasi mobilitas warga untuk wilayah yang angka kasus covid19 masih tinggi. Jalanan tol yang biasa padat kini lengang, nyaris sepi seperti hari raya atau liburan panjang.

Rutinitasku pada jam seperti ini ngebut di jalan tol, mengejar mesin absensi, telat berapa menit otomatis tunjangan kinerja (TKD) dipotong, "Ya wajar lah namanya telat ya artinya kinerjanya  kurang," kata istriku sewaktu kemarin kutunjukan halaman e-kinerja, potongan tiga ratus tujuh puluh lima  ribu TKD bulan lalu.

            Untung punya istri profesinya PNS juga,  jadi selalu mengerti lika liku jadi PNS. Wajahnya cuma berkerut sedikit saja ketika kutunjukan tampilan saldo jackmobile bank DKI di layar ponselku tadi pagi, tunjangan rutin bulanan berkurang sekitar  tujuh belas jutaan, lagi lagi karena covid19. "Harus ikhlas, demi warga Jakarta," katanya sambil tangannya mengibas-ngibas ponselku seperti sedang mengipas sate. "Tagihan ka-pe-er rumah bagiamana ?" tanya nya. "Masih proses evaluasi permohonan restrukturisasi di Be-Te-En," jawabku datar menunggu reaksinya. Ternyata dia diam saja seolah tak terjadi apa-apa, mengembalikan ponselku dan melanjutkan kesibukannya di depan laptop kerjanya.

            Tidak terasa sebentar lagi masuk pintu tol, kulepas injakan pedal gas, laju mobilku melambat, kulihat dari kejauhan seperti ada kemacetan. Mobil terlihat berjejer panjang di depan gerbang tol, penuh kiri kanan seperti antri masuk gerbang pelabuhan merak dihari libur panjang. Alhamdulilah hanya antrian biasa di pintu tol. Satu persatu mobil di kiri dan kanan barisan mobilku mulai maju, sampai di mesin pembayaran tol pengemudi menggeluarkan tongkat plastik lalu ditempelkan ke mesin sensor gerbang toll.

            Sejak merebaknya wabah covid, sebagian besar mesin dengan tombol pencet di Jakarta dinon-aktifkan, diganti dengan tombol sensor gerak termasuk di gerbang parkiran.  Dari jendela pengemudi terlihat sopir menjulurkan benda seperti alat pengusir lalat, di ujungnya menempel kartu, lalu kartu itu ditempelkan ke mesin yang akhirnya mengeluarkan kertas tol, kertas ukuran kecil yang keluar dengan cepat lalu melayang, sopir berusaha menangkap tapi gagal, kertas tol terbang melayang ditiup angin jatuh ke jalanan berserakan berkumpul bersama sampah kertas tol lainnya. Palang tol otomatis terlihat naik dan pengemudi melaju kencang seolah merayakan kebebasan lepas dari kemacetan.

            Barisan mobil di depanku belum bergerak. Aku meraih kartu e-toll dari dashboard mobilku, kupandangi beberapa saat, mengingat-ingat berapa sisa saldonya. Dua hari lalu sudah kuisi seratus lima puluh ribu, satu hari pulang pergi kantor ongkos toll lima puluh lima ribu, berarti karena sudah dua hari harusnya masih bersisa empat puluh ribuan, cukup untuk pergi tapi tidak cukup untuk pulang kerja sore nanti.

"Tiiiiiiin..Tiiiiiin." Suara klakson mobil di belakangku terdengar kencang.  Aku tak bergeming, itu klakson formalitas ala pengemudi jalanan, tidak jelas siapa yang diklaksonnya. Beberapa menit kutunggu masih tidak ada tanda pergerakan. Beberapa pengemudi mulai gelisah, suara klakson mulai bersahut sahutan makin meriah. Seolah berkata , "Buruan maju, gue gak peduli apa masalahmu."

Begitulah sikap pengemudi kebanyakan terlalu cepat emosi, sama ketika lambat beberapa detik maju di lampu lalu lintas, langsung pencet klakson bertubi-tubi, tidak mencoba berfikir positif,  mungkin pengemudi di depan mengalami kendala yang tidak kita ketahui.

            Tiba tiba mobil merah yang berada persis di depan mobilku bergerak mundur, aku tak bergeming sebab jika langsung mundur mobil di belakangku akan tertabrak. Aku menurunkan kaca mencari tahu apa yang terjadi. Aku mencoba melihat mobil yang berada paling depan yang berhenti persis di depan palang pintu tol. Seorang pria keluar dari mobilnya dan menghampiri petugas tol, terlihat berbincang sebentar, entah apa yang diperbincangkan begitu cepat. Pria itu lalu menghampiri pengendara mobil yang berada dibelakangnya sambil menunjukan sebuah kartu berwarna hitam, tidak berapa lama pria ini berpindah lagi ke mobil urutan ke dua dibelakangnya, sepertinya pengendara yang ditemuinya tidak menanggapinya, terlihat tak satupun yang membuka kaca mobilnya. Pemuda ini terlihat putus asa, memandang jauh sampai pandangannya serasa mengarah padaku penuh harap.

            Kulihat masih ada beberapa mobil di depanku yang lampu belakangnya terang bersinar menyilaukan pertanda poisisi siap untuk memundurkan kendarannya. "Aku tahu masalahnya," kataku dalam hati.  Aku bergegas turun dari mobil, kunaikan masker yang menggantung dileherku, kusematkan talinya ditelinga hingga masker menempel rapat dimulutku. Aku berjalan ke arahnya, tak peduli dengan bunyi klakson yang memekakan telinga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun