Mohon tunggu...
Penerbit Imtiyaz
Penerbit Imtiyaz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Saya akan post tulisan tulisan Saya Kunjungi juga web Penerbit Imtiyaz http://www.penerbitimtiyaz.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tafsir Surat Fathir Ayat 28 tentang Makna Ulama

26 Juli 2018   08:19 Diperbarui: 26 Juni 2020   15:08 5315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tafsir Surat Fathir:28 tentang Makna Ulama, Madrasah Diniyah Ulya, Pondok Pesantren Mabdaul Ma'arif, desa/kec. Jombang, Kab. Jember

1. Secara lughawi atau linguistik bahasa arab, ulama merupakan jama' dari 'alim, artinya orang yang berilmu, yang terambil dari akar kata yang berarti "mengetahui secara jelas".

2. Dalam terminologi al-Qur'an, ulama bukan hanya mereka yang mendalami ilmu agama saja melainkan mereka yang memiliki ilmu di bidangnya. Menurut Prof. Quraish Shihab, dalam Tafsir al-Mishbah, ayat ini memberikan penjelasan apabila mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam disebut oleh al-Qur'an dengan istilah "ulama". Dengan demikian, siapapun yang memiliki pengetahuan dan dalam disiplin apapun pengetahuan tersebut, maka ia dapat disebut "alim".

3. Pengetahuan yang dimiliki ini menghasilkan "khasyat". Menurut Imam Ar-Raghib al-Ashfihani, "Khasyat" adalah rasa takut yang disertai penghormatan yang lahir akibat pengetahuan tentang objek. Syekh Thahir Ibn Asyur menulis apabila yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengetahui tentang Allah dan syariat. Sebesar kadar pengetahuan tentang hal itu, sebesar pula kadar kekuatan khasyat/takut.

4. Imam Hasan al-Bashri, sebagaimana dikutip oleh Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya, menjelaskan apabila orang yang berilmu ('alim) ialah orang yang takut kepada Allah yang Maha Pengasih, dan menyukai apa yang disukai oleh Allah dan menghindari apa yang dimurkai Allah.

5. Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan apabila ulama merupakan pewaris para Nabi (al-'ulama waratsatul anbiya). Para nabi tidak mewariskan harta, hanya ilmu.

6. Di dalam masyarakat, ada beberapa istilah yang berkembang sesuai dengan konteks lokal untuk menyebut ulama. Di Jawa, disebut kiai. Di Sunda, disebut Ajengan. Di Nusa Tenggara Barat disebut dengan istilah Tuan Guru, di Aceh disebut dengan Tengku, di Bugis disebut dengan istilah Gurutta, dan sebagainya.

Ketika Walisongo masih hidup, para ulama disebut Sunan/Susuhunan. Generasi berikutnya merasa segan menggunakan istilah mulia ini, hingga akhirnya hanya menyematkan diri menggunakan nama "Ki Ageng". Karena generasi pelanjutnya merasa sungkan menggunakan gelar ini, maka mereka mencukupkan diri dengan istilah "Ki Gede". Generasi setelahnya akhirnya hanya menggunakan nama "kiai" yang sebelumnya hanya dipakai menyebut nama benda-benda yang dihormati.

7. Selain itu ada juga beberapa istilah yang seringkali saling bertabrakan di masyarakat. Yaitu, muballigh, da'i, dan ulama. Pertama, muballigh alias penyampai. Prosesnya disebut tabligh. Mubaligh hanya menyampaikan pesan/isi, dia tidak terikat dengan syarat yang ribet. Karena hanya menyampaikan saja, maka tidak dibutuhkan kualifikasi individu. Kedua, da'i atau pengajak. Kinerjanya namanya dakwah. 

Di sini mulai dibutuhkan kualifikasi individu, sebab dia bukan hanya pengampai pesan, melainkan pengajak/ penyeru. Jika muballigh hanya menyampaikan kewajiban shalat, maka da'i sudah masuk dalam ranah mengajak orang shalat.

Nah, setelah itu ada kualifikasi seorang "alim". Dia bukan hanya menyeru dan mengajak, melainkan juga melaksanakan apa yang telah dia sampaikan dan dia serukan. Kategori ini lebih bercorak seorang "alim" di bidang keilmuan agama yang menggunakan tiga level pendekatan: dengan hikmah, dengan mauidzoh hasanah (ujaran yang baik), dan debat/perbantahan yang ekselen (ahsan), sebagaimana diterangkan dalam Surat Annahl ayat 125. Hanya saja, berdasarkan QS. Fathir 28, tidak semua yang memiliki ilmu bisa disebut ulama. Sebab, ciri utama seorang ulama adalah khasyatillah, takut dengan Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun