Mohon tunggu...
Evan Seftian Muzaki
Evan Seftian Muzaki Mohon Tunggu... Guru - Pena Wong Cilik

Manusia Paling Biasa-Biasa Saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berkah Ramadan di Tengah Wabah: Kemantapan Ibadah Hingga Berkurangnya Iklan Berbau Komodifikasi Agama

25 April 2020   15:30 Diperbarui: 25 April 2020   15:28 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : ekonomi.djournalist.com

Tibalah kita memasuki pintu Ramadhan 2020 . Meskipun ramadhan kali ini cukup kontras perbedaanya dengan ramadhan-ramadhan sebelumnya, namun bulan ramadhan tetaplah bulan istimewa sebagai bulan dimana umat muslin bisa mendapatkan jackpot pahala sehingga ibadahnya akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Bagaimana umat muslim tidak patut bergembira menyambut datangnya bulan suci ini jika di bulan ini tidur siang pun dianggap sebagai suatu aktivitas yang berpahala, meskipun dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Wabah corona memang sedikit mengubah kebiasaan kita dalam menyambut bulan ramadhan, namun esensi ramadhan sebagai bulan yang penuh berkah tidak akan pernah berubah. Penyambutan bulan ramadhan kali ini memang tak semeriah bulan ramadhan sebelumnya, namun bisa jadi  hal tersebut juga menjadi pertanda bahwa manusia kali ini dituntut untuk menjalankan ibadah di bulan ramadhan dengan lebih khusyuk tanpa dibarengi dengan unsur-unsur keduniawian yang berlebihan. Lagi-lagi saya mengajak anda semua untuk sebentar melihat wabah ini dari sisi yang berbeda, sisi yang lebih bermakna dan membuat manusia sedikit sadar akan hakikat kehidupannya.

Tanpa kita sadari, keterpaksaan kita untuk tetap di rumah dalam rangka menghindari dan memutus rantai penyebaran wabah corona membuat kita mempunyai intensitas atau waktu yang lebih dalam rangka beribadah di bulan puasa ini. Dengan aturan pemerintah untuk tetap #dirumahsaja, kita bisa lebih banyak mengerjakan ritual keagamaan yang sebelumnya sangat sedikit waktu yang kita luangkan untuk hal tersebut.

Misalnya tadarus Al-Qur'an, yang biasanya mungkin kita lakukan di bulan puasa sebelumnya dengan intensitas yang cenderung sedikit karena waktunya terbagi dengan jadwal ngabuburit kita, maka di bulan ramadhan kali ini waktu yang kita luangkan untuk tadarus Al-Qur'an akan semakin banyak karena jadwal ngabuburit kita terbentur dengan aturan pemerintah untuk #dirumahsaja.

Hal tersebut menunjukan bahwa wabah ini memberikan ruang kepada manusia untuk melaksanakan ibadah di bulan puasa dengan kemantapan yang lebih dari bulan-bulan puasa sebelumnya.

Pada ramadhan-ramadhan sebelumnya, masyarakat mengalami kebingungan dalam menyikapi dan menyambut datangnya bulan ramadhan. Terutama pada masyarakat modern, ramadhan yang sejatinya mempunyai makna sebagai bulan suci justru dijadikan sebagai bulan dengan tingkat konsumsi yang sangat tinggi. Biasanya masyarakat modern menjadikan momen ramadhan untuk menyerbu pusat perbelanjaan atau mal-mal untuk melampiaskan hasrat konsumtifnya.

Bisa kita katakan bahwa manusia modern menjadikan agama sebagai candu dalam wujud budaya konsumtif tinggi di bulan ramadhan. Apa buktinya? Kita coba lihat cara dan kuantitas masyarakat dalam menjalankan konsumsi di bulan ramadhan, pertanyaan yang harus terjawab adalah mengapa tingkat konsumsi masyarakat justru tinggi ketika memasuki bulan ramadhan yang sisebut sebagai bulan suci?

Hal ini tentu tak terpisahkan dengan daya tarik yang diberikan para pelaku usaha dengan memberikan embel-embel diskon ramadhan pada komoditas yang dijualnya, sehingga membuat masyarakat tertarik untuk membeli produk yang ditawarkan, meskipun sebenarnya tak terlau mereka butuhkan

Fenomena ini menjadikan kita sadar bahwa belanja sudah menjadi ritual tersendiri bagi manusia dalam menyambut datangnya bulan ramadhan. Bahkan Dapat diartikan bahwa belanja adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan manusia. Atau,ritual perbelanjaan dapat juga dipahami sebagai ekspresi dan juga sublimasi tersendiri dari berlangsungnya ritual Keagamaan seperti bulan ramadhan ini. Belanja seakan-akan didorong oleh motif mengikuti perintah dan ajaran agama, yaitu menyambut bulan puasa dan hari raya idul fitri.

Pemakaian kata ramadhan untuk kepentingan jual beli membuat makna ramadhan itu sendiri menjadi kurang sakral. Bagaimana mungkin kita bisa memaknai ramadhan sebagai bulan yang benar-benar suci jika yang bisa kita dapatkan dari bulan ini hanyalah diskon besar-besaran?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun