Pengetahuan informasi bagi kaum perempuan tentang daerah seperti mereka yang tinggal di Kota atau Pedesaan tentang pembangunan sangat minim dibandingkan dengan laki-laki, masih ada kesenjangan informasi, pada persoalan kepemilikan handphone misalnya, mereka jauh tertinggal dengan laki-laki, belum lagi pada persoalan informasi anggaran di desa, apa saja yang boleh dikerjakan, bagaimana cara mendapatkan informasi, maka laki-laki dianggap paling dominan untuk memperoleh informasi ini.
Keberpihakan pembangunan di kelurahan dengan pedesaan masih ditemui bahwa laki-laki harus menjadi prioritas penting yang pertama, padahal banyak program dan kegiatan yang harus melibatkan unsur perempuan, sepertinya kegiatan musyawarah di Kelurahan dan Desa ini porsi perempuan untuk dihadirkan sangatlah rendah, walaupun Kementrian Desa dan Kementerian Pemberdayaan perempuan mendukung programnya lewat Desa Ramah Perempian dan Desa Ramah Anak.Â
Anggaran bagi kaum perempuan pun tifaklah sehebat dari kaum laki-laki, ada kesenjangan yang kentara namun tidak dirasakan oleh para penggerak pembangunan, masih saja apatis dan skeptis manakalah perempuan menjadi seorang tokoh penggerak di desa, padahal  dilingkungan kita hampir setiap hari semua ibu dan anak perempuan mengikuti kegiatan jamiyahan rutin, tak ada yang kosong dari mulai senenan-selasanan-raboan-kamisan-jumahan-sabtunan-dan mingguan.
Mereka secara mandiri bergerak dengan mengandalkan kekuatan tenaga, pikiran, dan kemampuannya untuk menggerakan aktivitas tersebut tanpa mendapatkan imbalan apapun, secara ikhlas mereka saling berinteraksi bagaimana jamiyahan tersebut abadi dan tetap melakukan aktivitasnya dengan baik.Â
Kaum perempuan yang duduk di parlemen, di lembaga pemerintahan, maupun institusi yang lainnya terbilang masih rendah, kaum perempuan dianggap kurang cekatan, kurang terampil dan ragam kendala yang lain.Â
Guru PAUD rata-rata pengajarnya adalah kaum perempuan, tim penggerak PKK juga semua perempuan, belum lagi kegiatan pengajian majlis taklim sekarang kaum perempuan juga mulai mendominasi, hanya saja pengetahuan yang lebih terkadang terkendala dengan masalah kesibukan dirumah tangganya, ingin berkarir mereka lebih memilih merawat anaknya dirumah sambil memiliki pekerjaan sampingan dirumahnya seperti menjahit, dagang toko pakaian atau sembako dan ragam lainnya.Â
Selain itu, perempuan pada lembaga BPD pun hanya mendapatkan porsi 1 orang jika jumlah anggota BPDnya 5 orang, ini dilakukan agar ada keberpihakan di lembaga BPD mengakomodir usulan perempuan. Walaupun pada prakteknya kadang kekuatan BPD di desa masih lebih dominan Kadesnya beserta perangkat desanya.Â
Banyak program yang bisa diakses oleh para perempuan antara lain, Kesehatan Ibu dan anak, Ketrampilan keluarga bagi peremluan, posyandu di dominasi oleh perempuan, Rata-rata Dewasa Tidak Sekolah juga dari kalangan perempuan, dan persoalan lain yang harusny diintervensi agar kaum perempuan tidak termarginalisasi.Â