Sebentar lagi lebaran akan kita jumpai, semua umat muslim di Indonesia akan melaksanakan sebuah tradisi saling maaf memaafkan, sebuah aktivitas silaturokhim yang banyak manfaatnya, bahasa jawabnya adalah salam-salaman dengan mengucapkan Minal Aidzin Wal Faizin Mohon Maaf Lahir Batin.
Di Kampung Brebes adat saat lebaran tidak seperti di kudus, jepara dan pati. Karena Brebea dekat dengan Jakarta, dan sudah sedikit terkontaminasi metropolitan, sehingga cara meminta maaf pun berbeda dengan cara yang dilakukan di wilayah Semarang ke Timur.
Istilah sederhananya adalah Deso mowo coro, negoro mowo toto” adalah sebuah pribahasa jawa yang kurang lebih memiliki arti “desa memiliki adat, negara memiliki aturan/hukum”. Jika diartikan agak mendalam bahwa desa memiliki tradisi budayanya masing-masing, memiliki kondisi budaya yang terbangun atau terbentuk sudah sejak lama dalam sebuah hubungan sosial masyarakat. Sedangkan negara memiliki tatanan atau hukum yang lebih tegas dalam mengatur kondisi masyarakat yang bersumber pada adat istiadat tersebut.
Dikota penghasil bawang merah, saat pelaksanaan idhul fitri selesai, salaman sambil ketemu di jalan, di kantor, atau di masjid, dianggap sudah minta maaf lahir batin, asalkan sudah salaman dan bilang pada-pada ngampura ya sudah, model sungkem kaya zaman kerajaan sudah tidak langgeng lagi, berbeda dengan di wilayah Demak, Kudus, Jepara, Pati, Rembang, maka unggah ungguh salaman antara yang muda ke sesepuh harus dilakukan, ponakan kepada pamannya, atau pamannya kepada pak dhenya, maka harus datang dirumahnya, tidak bisa ketemu di jalan, terus senyum atau berhenti lalu salaman.
Jika belum ketemu salah satu budhe atau pak dhe, paman atau bulik, dan mengucapkam permohonan maaf maka dianggap belum ketemu dan dibilang sombong dan tidak unggah ungguh.
Termasuk saat santri ketemu dengan gurunya atau kyainya, maka para santri dan keluarganya datang ke rumahnya kyai, kemudian kyainya mendoakan lewat pengeras suara sambil mengucapkan pintu maaf dan diakhiri dengan doa penutup, lalu yang laki-laki salaman dengan laki-laki, dan perempuan salaman dengan ibu nyai. Tidak bisa bersalaman yang bukan muhrimnya. Ucapan maaf lewat speaker dan doa sudah dimaklumi sebagai manifestasi budaya adat yang sampai sekarang dilestarikan untuk wilayah kudus, jepara, rembang dan demak.