Mohon tunggu...
bahrul ulum
bahrul ulum Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer Brebes Community (KBC) - Jawa Tengah

Apa yang ditulis akan abadi, apa yang akan dihafal akan terlepas, ilmu adalah buruan, pengikatnya adalah tulisan, ikatlah dengan kuat buruan mu itu. (KBC-01)

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Air Meluber, Wayahe Rendeng, Siapa yang Rugi?

7 Maret 2020   09:06 Diperbarui: 7 Maret 2020   09:08 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meluber Wayahe Rendeng (Dokpri)

Guyuran hujan sejak kemarin sampai dini hari, menyebabkan beberapa ruas jalan di pedesaan dan perkotaan tergenang air, maklum wayahe udan atau musim rendeng menjadikan meluber air ke jalan beraspal, bagi yang rumahnya dekat sungai atau terdekat dengan aliran DAS sangat memungkinkan rembesan air tersebut, padahal cuaca masih memungkinkan akan ada hujan lagi karena mendung. 

Luberan air membikin anak sekolah saat mau masuk sekolah harus mengangkat sepatu dan celana panjangnya, karena ga mungkin dilalui dengan bersepatu, kedua kakinya nanti dicuci lagi disekolah, anak-anak SD juga sama, diantar sama orangtuanya naik motor dan harus basah ria karena kecipretan air sungai tersebut, gas motor harus dinaikkan sedikit khawatir nanti mlebek atau macet, busi bisa kena air akibatnya motor macet. 

Sejumlah sekolah juga halaman parkir dan halaman sekolahnya banjir, maklum jalan daendels tiap tahun naik terus baik di cor beton atau di aspal, rumah disekitar jalan tersebut semakin tak punya tampak wajah, karena ketinggian jalan sudah tidak normal lagi, yang penting mbangun, urusan rakyat mah nomor dua, mau ditinggikan rumahnya ya terserah tuan rumah, mau dibiarkan ya cuma dilirik saja, estetika membangun kayaknya sudah tidak ada lagi. 

Rumah depan jalan raya, sekarang ini hanya bisa memelas dada, tiap tahun jalan rusak karena aspalnya sudah tidak kuat, jalan berlobang karena drainase jelek, muatan kendaraan yang melebihi kapasitas karena desakan ekonomi akibatnya dilanggar lebih tonasi, ada operasi terkait muatan dianggap hal biasa, aliran DAS tersumbat, saluran air tidak normal lagi, warga hanya berdiam saja, toh ini hanya sementara saja. 

Uang milyaran digunakan untuk perbaikan infrastuktur, namun tak pernah ada berujung kapan akan selesai, mau orientasi pemberdayaan manusia, bingung dengan aspek ukuran berhasilnya karena manusia yang jadi obyeknya, dampak yang signifikan tidak kentara. Panik hanya sesaat, saat sudah selesai kita sudah lupa dengan kepanikan, akhirnya menjadi hukum kebiasaan. 

Terus apa yang harus diperbuat oleh kita sebagai penghuni bumi ini? Mau jadi penonton atau penuntun hidup, mau bekti sama negeri atau hidup dengan egonya sendiri. Hanya kita yang bisa membaca keadaan lalu iqro...iqro...iqro.. semoga ada secerah kebijakan yang komprehensif untuk memutuskan sebuah kebijakan yang terbaik di daerah dalam persoalan luberan air yang semakin lama semakin terbiasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun