Sebagai warga yang baik dan pengguna layanan publik, dipastikan kita bisa pernah merasakan bagaimana kondisi layanan publik yang dilakukan oleh para penyedia jasa yakni institusi birokrasi kita. Masyarakat bisa menilai sendiri wajah asli untuk mengurus dokumen kependudukan, mengurus dokumen perizinan dan dokumen lain.Â
Ribet prosesnya, prosedur yang berbelit-belit karena harus melalui berbagai meja petugas menjadi pemandangan yang masih melekat dan bikin stigma bagi warganya dalam mengurus dokumen. Antrian untuk mendapatkan dokumen harus bersabar dan cukup banyak yang meminta dokumen tersebut, namun kalau punya koneksi menjadi cepat selesai.Â
Sejak zaman sekolah hingga sekarang sudah mempunyai keturunan, lembaga penyedia ini masih istiqomah dalam melakukan layanan publiknya. Perubahan yang kentara antara lain sudah berbasis komputerisasi dan sudah jarang ditemukan mencetak dokumen menggunakan mesin ketik manual.Â
Contoh yang mudah saja, mengurus dokumen paspor haji atau umroh, tidak semua kantor imigrasi berada di satu kabupaten, biasanya 4 atau lebih kabupaten dipersilahkan warganya untuk buat paspor di kabupaten salah satunya, contoh warga Brebes dalam membuat paspor harus pergi ke pemalang. Jika warga ini dari kampung di pucuk gunung misalkan di Salem, maka butuh 5 jam sampai di Kantor Imigrasi Pemalang, tidak bisa dalam sehari bisa jadi dokumen tersebut.Â
Bayangkan jika warga yang mengurus dokumen adalah berlatar belakang pendidikan lulusan SD atau tidak tamat, jelas mengalami kendala yang cukup berarti. Kesalahan beda nama, tanggal lahir, bulan lahir, dan tahun lahir bisa terjadi termasuk kekeliruan di dokumen adminduknya sering terjadi, dan mereka harus membetulkan dokumen yang salah itu ke layanan adminduk di kabupatennya. Ini yang bikin momok warga jika ingin urus paspor.Â
Belum lagi layanan yang lain. Untuk mengurus dokumen kepemilikan akta tanah di BPN, jika diurus sendiri, bisa jadi bolak balik beberapa kali. Blum lagi mengurus Akta Jual Beli (AJB).Â
Walaupun kebijakan pemerintah membuat aturan pengurusan dokumen kepemilikan sertifikat tanah sawah ataupun rumahnya, maka mereka harus ketemu banyak pejabat yang harus ditemui, walaupun murah bayar di BPN nya namun untuk bolak-balik pengurusan AJB bikin wajar jika sebagian warga enggan mengurus sampai menjadi sertifikat, cukup dengan AJB saja atau kadang juga hanya bukti jual beli dibawah tangan kwitansi yang dibubuhi materai antara penjual dan pembeli.Â
Mereka memanfaatkan program prona yang sudah menjadi program nasional, wajar jika program ini jadi angin segar bagi warga yang punya tanah namun belum memperoleh sertifikat, itupun praktik di lapangan sebagian warga yang mau memperoleh dokumen tersebut harus merogoh kocek dengan besaran variatif, bagi warga praktik seperti ini dianggap lumrah asalkan jadi, bagi pelaksana program kami mengikuti aturan yang ada, jika ada yang harus bayar tambahan diluar ketentuan nasional maka itu oknum.Â
Sampai kapan yah kondisi layanan publik di negeri ini akan transparan, no diskriminasi, tidak ada KKN, tidak berbelit-belit, tidak banyak meja yang disiapkan, dan menunggu sudah pasti jadwal keluar dokumennya.Â
Semoga pemerintahan terus memegang teguh prinsip penyelenggaraan pelayanan publik yang baik sesuai dengan ketentuan pada UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik.