Mohon tunggu...
bahrul ulum
bahrul ulum Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer Brebes Community (KBC) - Jawa Tengah

Apa yang ditulis akan abadi, apa yang akan dihafal akan terlepas, ilmu adalah buruan, pengikatnya adalah tulisan, ikatlah dengan kuat buruan mu itu. (KBC-01)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Jamu Gendong Keliling Semakin Langka

9 Maret 2018   10:00 Diperbarui: 9 Maret 2018   10:22 1656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jamu Gendong/Doc Antarafoto.com

Lima belas tahun yang lalu, mencari jamu gendong keliling mudah di dapat di desa-desa, mereka setiap hari keliling menjajakan jamu racikan tradisionalnya untuk kalangan semua usia. Warga pun sudah tahu kapan jamu gendongnya datang di rumahnya, kapan saat hari liburnya penjual jamu ini tidak datang. 

Mereka berjalan kaki kiloan meter, dipinggangnya ada botol yang berisi beras kencur, temulawak, ginseng, air gula manis, dan didalamnya ada juga plastik hitam yang berisi, buyung upi, galian singset, pegel linu, sariawan, jamu sehat laki-laki, jamu sehat perempuan, madu dan juga telor ayam. 

Dari rumahnya berangkat jam 10.00 WIB menuju desa yang dipilih, saat itu belum banyak sepeda motor yang lalu lalang di desa, sehingga naik mobil angkutan umum, dengan membayar 2000 sudah sampai ke lokasi tujuan yang diinginkan. 

Beberapa jam berjalan dari gang ke gang untuk menawarkan jamu racikan sendiri dan racikan pabrik. " Jamu...jamu... mas, jamu.. jamu... galian singset, pegel linu, sariawan, sehat lelaki, ada mas, " begitu ungkapan yang sering diucapkan ketika masuk ke dalam gang satu ke gang lain. 

Karena sudah seringnya datang ke desa tersebut, sehingga penjual tamu gendong ini hafal betul, mana Ibu atau Gadis dan anak-anak yang suka minum jamu, mana yang cuma lirik saja, nawar jamu tapi tidak mau membeli, bahkan ada yang sengaja datang ke penjual jamu karena ingin lihat penjual jamunya, maklum perawatan tubuh tukang jamu dianggap lebih seger dan menarik dipandang. 

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Kebiasaan minum jamu bagi warga di kampung, itu secara turun temurun, wajar jika penjual jamu ini akan tahu, jika saya berangkat jam 13.00 WIB maka pada pukul 17.00 WIB jamu yang digendong akan habis, sehingga sudah ditaksir berapa uang yang didapatkan, era tahun 1980 hingga 1990-an itu belum banyak sepeda motor, tidak seperti sekarang ini. 

Khawatir tidak dapat mobil angkutan umum saat pulangnya, sehingga penjual jamu gendong harus patuh dengan waktu yang ada, laku tidak laku pada jam 17.00 WIB harus pulang. 

Penjual jamu kadang ada yang masih gadis saat menjajakan jamu racikannya, kadang juga sudah ibu beranak satu, jarang sekali yang usia manula masih berani menggendong jamu keliling, karena pinggang dan fisiknya tidak memungkinkan. 

Wajar jika mereka yang sudah purna dari jualan jamu gendongnya kemudian hanya meracik jamunya, dan diserahkan kepada anak kandungnya atau juga kepada karyawannya agar dijualkan, bisa memungkinkan mereka membuka kios jamu tradisional dirumahnya. 

Menjamurlah kios jamu yang dijual didaerah perkotaan, bahkan cenderung ditingkat pasar yang ramai, mereka mencoba berbisnis jamu dikios yang cukup strategis. Fenomena ini mulai tumbuh kisaran tahun 2014 hingga sekarang mulai ramai bermunculan diberbagai kota di Indonesia. 

Obat tradisional ala pabrik lebih banyak dijual, dibandingkan mereka harus meracik sendiri obat tradisional, pola praktis menjadikan mereka tidak merasa kelelahan, dibandingkan meracik jamu tradisional dengan rempah-rempah yang dicari sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun