Mohon tunggu...
bahrul ulum
bahrul ulum Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer Brebes Community (KBC) - Jawa Tengah

Apa yang ditulis akan abadi, apa yang akan dihafal akan terlepas, ilmu adalah buruan, pengikatnya adalah tulisan, ikatlah dengan kuat buruan mu itu. (KBC-01)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tebasan Pohon, Budaya atau Syariat?

29 November 2017   17:29 Diperbarui: 30 November 2017   09:32 2061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehidupan dikampung pada umumya dalam menjual  hasil buah dari mangga, sawo, durian, dan sejenisnya lewat model tebasan (borongan), alasan mereka bila dipetik sendiri butuh tenaga, harus bayari orang lain, dan takut jatuh, banyak semutnya, mereka memilih jalur praktis saja dan baginya masih untung jika di tebas, karena merasa tidak begitu merawat penuh, paling modal nyiram air saat musim kemarau, dikasih pupuk jika perlu. 

Penebas pohon biasanya menggunakan sepeda onthel atau sepeda motor, mereka lirik kanan dan kiri jalan dimana ada tanaman mangga atau sejenisnya yang berada di depan rumahnya atau dikebunya. 

Penebas ini sudah paham betul berapa taksiran harga 1 wit (pohon) ditaksir, dan saat menaksir pun kadang-kadang masih muda, tapi berani bayar. Bagi penebas ini spekulasi untung rugi dari sebuah transaksi. Kadang taksiran meleset sehingga rugi, sisi lain juga kadang taksiran bagus, yang laba penebas dibandingkan pemilik pohon. 

Harga tebasan pohon dilihat dari banyaknya buah yang kelihatan dan biasanya pemilik pohon itu menghitung dari tebasan tahun sebelumnya menjadi patokan baginya, sedangkan bagi penebas melihat berdasarkan buah yang kelihatan dan lihat jenis pohon yang ada, kata jadi saat mereka setuju dan dibayarkan uang muka dulu, dengan tujuan agar pemilik pohon memeliki rasa kepercayaan yang tinggi, sedangkan bagi penebas pohon itu untuk pengikat antara dia dan pemilik pohon tersebut. 

Fenomena menarik lagi, dibeberapa kota seperti di jepara, penebas yang tahu jika pohon ini lebat, mereka berani menyewa setahun pohonnya, jadi pemilik kebun atau dimana ada pohon mangga yang tumbuh dihalaman rumah baik depan rumah atau belakang rumah, berani bayar dalam kondisi tidak ada buahnya, penyewa ini akan merawat pohon tesebut dengan disemprot obat penyubur tanaman agar nantinya buahnya lebat. 

Sahabat, Fenomena tebasan tanaman  ini juga terjadi di tanaman bawang merah, saat usia 50 hari, para penebas ini mendatangi lahan petani bawang merah, mereka bisa menaksir harga dari tanaman yang hampir panen, bahkan mereka kasih uang muka jika petaninya setuju dengan harga taksiran penebas ini. Kalau harga lagi naik, penebas bermita dengan pemasok bawang merah berani membayar lunas bawang merah yang masih tanam tersebut. Khawatirnya penebas jika tidak segera dibayar, nanti direbut orang lain. Padahal resiko penebas adalah masih ada kisaran 10 hari lagi panennya, namun itulah kebiasaan yang terjadi pada masyarakat Brebes pada umumnya disektor holtikultura ini. 

Kondisi tebasan di padi pun tampaknya sudah mulai melekat, petani lebih memilih tanamannya ditebas daripada dipanen sendiri, sebagaian pemilik sawah yang ditanami padi sekarang jika panen sendiri, kecil untungnya dan susah mencari buruh pemetik padi tersebut, mereka siap menanam padi, tapi saat mau panen banyak kendala yang muncul, ongkos petik mahal, kadang susah cari buruhnya, belum lagi saat mengeringkan hasil gabah keringnya. 

Petani menganggap tebasan itu hal biasa dan baginya sebagai budaya yang sudah umum, hampir hukum syariat pun terkalahkan dengan transaksi tebasan ini. Menurut syariat islam di kalangan petani lazim dikenal penjualan hasil penen dengan cara tebasan. Dari tinjauan bahasa, tebasan adalah pembelian hasil tanaman sebelum dipetik. Dalam praktik, tebasan dilakukan, biasanya oleh tengkulak, dengan cara membeli hasil pertanian atau perkebunan sebelum masa penen. Pengertian membeli dalam hal ini bisa diartikan dua hal. 

Pertama, tengkulak benar-benar melakukan transaksi jual-beli dengan petani pada saat biji tanaman atau buah dari pohon sudah tampak tetapi belum layak panen. Setelah transaksi, tengkulak tidak langsung memanen biji atau buah tersebut, melainkan menunggu hingga biji atau buah sudah layak panen. Dan pada saat itulah tengkulak baru mengambil biji atau buah yang sudah dibelinya. 

Kedua, tengkulak membeli dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai uang muka (jawa:panjer). Jika kelak barang jadi diambil maka uang yang diserahkan diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran, dan jika tidak jadi diambil, maka uang itu hangus. Panjer dalam hal ini berfungsi sebagai pengikat bagi si petani, dalam pengertian bahwa si petani tidak boleh menjual hasil panennya kepada orang lain. 

Ditinjau dari sudut prinsip-prinsip muamalah dalam Islam, transaksi tersebut diatas mengandung beberapa kemungkinan fasad. Pertama, buah yang masih di atas pohon atau padi yang masih berada di tangkainya tidak diketahui jumlahnya. Dengan demikian dalam transaksi tersebut mabi’ dijual tanpa takaran (jizaf).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun