Selamat Tinggal untuk Sementara
Oleh:Penadebu
Doni menatap langit senja yang mulai menguning keemasan. Samarinda serasa kota tak bertuan bagi dirinya. Angin sore berembus pelan, membawa aroma bunga kamboja dari taman di belakang rumah Martha. Yah bunga yang enggan bercabang lebih dari tiga. Di sampingnya, Martha duduk diam dengan mata menerawang jauh. Suasana hening, seolah alam pun ikut enggan merusak momen terakhir mereka bersama.
"Aku jadi berangkat besok pagi," suara Martha akhirnya memecah keheningan. Lembut, namun tegas.
Doni mengangguk pelan. Ia tahu hari ini akan datang, namun tetap saja, hatinya terasa sesak. "Kamu yakin nggak mau tunda sampai minggu depan? Mungkin kita bisa jalan-jalan dahulu ke tempat biasa."
Martha tersenyum tipis. Senyum yang selalu Doni ingat, senyum yang membuatnya jatuh cinta sejak pertama kali bertemu. "Kalau aku tunda, pasti aku makin sulit pergi. Mimpi itu sudah aku kejar sejak dahulu, Don. Beasiswa ini, kesempatan sekali seumur hidup."
Doni tahu betul. Martha selalu bercita-cita menjadi orang yang selalu nomor 1. Mendapatkan beasiswa ke Jepang adalah impian yang selama ini dikejarnya dengan penuh kerja keras. Tetapi mengapa perpisahan ini tetap terasa begitu berat?
"Ya... aku tahu." Suara Doni lirih, hampir tenggelam dalam suara angin. "Cuma... rasanya nggak siap saja."
Martha menatapnya dalam-dalam, matanya mulai berair. "Aku juga nggak siap. Tapi kamu yang ngajarin aku untuk enggak menyerah mengejar mimpi, kan? Kalau sekarang aku berhenti, berarti aku mengingkari semua yang sudah kamu dukung selama ini."
Doni mengalihkan pandangan. Ia tidak ingin Martha melihat matanya yang mulai memerah. Dia ingin terlihat tegar. Dia harus tegar. "Aku bakal kangen banget, Mar."
"Aku juga, tetapi ini bukan selamanya, kan?" Martha mencoba tersenyum lagi. Kali ini senyumnya terasa getir. "Kita cuma perlu bersabar sebentar. Aku janji, aku bakal balik. Dan kita bisa mulai lagi dari awal."
Doni mengangguk pelan. Ia ingin percaya janji itu, janji yang terdengar manis namun begitu sulit untuk diyakini sepenuhnya. Tetapi dia tak punya pilihan lain selain berharap. "Aku tunggu kamu, Mar... Berapa lama pun itu."