Mohon tunggu...
Christian Rahmat
Christian Rahmat Mohon Tunggu... Freelancer - Memoria Passionis

Pembelajaran telah tersedia bagi siapa saja yang bisa membaca. Keajaiban ada di mana-mana. (Carl Sagan)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

"Student Hidjo", Potret Kehidupan Kolonial yang Adem Ayem

19 Maret 2021   10:00 Diperbarui: 19 Maret 2021   10:12 1763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel ini pasti akan menyuguhi kompleksitas kehidupan masa kolonial beserta beragam konflik yang mengikutinya. Begitu saya berkata dalam hati saat kali pertama menatap sampul depan, dilanjutkan dengan membaca blurb di sampul belakang novel Student Hidjo. Dan ketika menyudahi lembar terakhir, saya hanya tersenyum mendapati bahwa terkaan saya meleset. Jauh dari konflik mendebarkan, novel ini adalah kisah tentang hidup yang sejuk dan tenteram.

Student Hidjo terbit pada tahun 1919. Pengarangnya, Marco Kartodikromo atau lebih dikenal sebagai Mas Marco, ataupun Mas Marco Kartodikromo. Seorang penulis kelahiran Blora, 1890, yang selain menulis karya sastra, juga merupakan jurnalis yang banyak berkontribusi bagi dunia jurnalisme Indonesia sekarang ini. Kontribusi ini salah satunya bisa dilihat dari keberadaan Inlandsche Journalisten Bond (Persatuan Jurnalis Bumiputera), sebuah organisasi yang diprakarsainya bersama Tjipto Mangunkusumo, Sosro Kartono dan Ki Hadjar Dewantara. Berdiri di Surakarta tahun 1914, organisasi ini menjadi wadah berkumpulnya jurnalis-jurnalis pribumi serta melindungi mereka dari ancaman delik pers oleh pemerintah kolonial.

Pada tahun 1932, Mas Marco mati sebagai orang buangan. Dia bersimpati pada sosialisme/komunisme, dan kemudian menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1926-1927, PKI "berontak", namun berhasil dipadamkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Tak lama berselang, sebagian komunis-komunis pemberontak ini, termasuk di dalamnya Mas Marco, dibuang ke Boven Digoel. Kala itu masih berupa rimba ganas yang dengan cepat, mampu mengirim siapa saja menuju kematian. Malaria jadi salah satu malaikat pencabut nyawa paling ditakuti.

Dalam masa-masa pengasingannya, Mas Marco menulis buku Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel. Boleh dikatakan, sebuah memoar yang mengisahkan serpihan-serpihan kehidupan bersama kamerad-kameradnya selama di Boven Digoel. Sekian sekilas tentang Mas Marco. Mari kembali ke Student Hidjo.

Masih menjadi pertanyaan bagi saya, bagaimana bisa Mas Marco memotret kehidupan di masa itu sebagai kehidupan yang aman-aman saja. Pertanyaan ini muncul tentu bukan tanpa alasan kuat. Ya, dari beberapa perspektif, barangkali kehidupan kolonial itu memang terlihat tanpa persoalan. Namun, mengingat Mas Marco yang menuliskannya, jadi unik rasanya.

Latar belakang Marco sebagai jurnalis agaknya cukup menjadi pengantar pada asumsi bahwa dia bukanlah tipe pengarang yang sekadar "bersastra ria" pada masa itu. Sebagai jurnalis, tentu ia berwawasan luas, dan mengikuti setiap perkembangan kehidupan sosial, terkhusus di bidang politik pergerakan kala itu. Dengan asumsi demikian, menjadi janggal ketika menemukan karya Mas Marco tidak merekam peristiwa kebangkitan pergerakan itu secara lebih intens.

Dalam novel Student Hidjo, kondisi semacam itu memang sedikit digambarkan, namun tidak menjadi elemen berarti dalam rangkaian cerita. Pergerakan Sarekat Islam yang sedang bergelora dan menarik simpati banyak orang disampaikan cuma sepintas lalu saja. Boleh dikatakan, tidak cukup intens untuk menstimulus rasa penasaran pembaca terhadap peristiwa tersebut.

Demikian halnya dengan konfrontasi antara pribumi dengan Belanda. Hubungan antara pribumi dengan Belanda tidak digambarkan sebagai hubungan yang konfrontatif. Sebaliknya, hubungan tersebut cenderung baik-baik saja dan saling menguntungkan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Relasi pribumi-Belanda yang dilukiskan Mas Marco ini menunjukan betapa tenteramnya kehidupan pada masa itu. Mari melompat ke peristiwa berikutnya.

Peristiwa selanjutnya, yang juga jauh dari konflik, ialah hubungan percintaan antara tokoh-tokoh dalam cerita yang meliputi; Hidjo, R. A. Woengoe, R. A. Biroe, R. M. Wardojo, Kontrolir Walter, dan Betje. Bagaimana hubungan percintaan di antara mereka dimulai  dengan bagaimana hubungan tersebut berakhir terasa sangat datar. Hampir tidak ada konflik berarti. Hidjo, Woengoe, Biroe, dan Wardojo menerima begitu saja perjodohan yang telah diatur bagi mereka. Sedangkan Betje, secara ajaib bisa bersatu dengan Kontrolir Walter. Hubungan asmara, yang boleh jadi merupakan sumber konflik paling mutakhir dalam sebuah cerita, agaknya tidak berlaku dalam novel Student Hidjo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun