Mohon tunggu...
Anwar Effendi
Anwar Effendi Mohon Tunggu... Jurnalis - Mencari ujung langit

Sepi bukan berarti mati

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Susah Bangkit Kalau Masih Jadi Bangsa Pengekor

20 Mei 2020   13:10 Diperbarui: 20 Mei 2020   13:11 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Hari Kebangkitan Nasional. (kominfo.go.id)

Hari Kebangkitan Nasional atau yang disingkat Harkitnas cuma terasa pada acara-acara seremonial saja. Di dunia pendidikan, cuma diwarnai dengan upacara bendera yang sudah menjadi rutinitas tahunan.

Anak didik, tiap generasi terus saja dicekoki lintasan sejarah, bagaimana tanggal 20 Mei dijadikan sebagai Harkitnas. Bukannya anak didik didorong dengan inovasi-inovasi yang pada goalnya mewujud sebagai manusia pencipta. Menghasilkan karya-karya yang menggemparkan dunia.

Selama ini yang terjadi, generasi muda lebih banyak dininabobokan nostalgia-nostalgia indah. Memang betul, bangsa yang baik harus menghargai sejarahnya. Tapi menghasilkan sejarah baru, itu akan lebih baik. Dan membawa nama Indonesia ke puncak tertinggi.

Bukannya menampikkan sejumlah prestasi generasi muda saat ini. Justru mereka kadang lebih terdengar di luar ibu pertiwi. Ada penghargaan pada mereka hingga memilih tinggal di luar negeri. Sementara di dalam negeri, jangankan penghargaan, ruang pun mereka tak terbagi.

Di sekup yang lebih luas, yakni pemerintahan, arti Harkitnas, cukup mentok dalam wejangan kepala daerah. Pesannya masuk atau tidak masuk kepada bawahan, sangat tidak jelas. Buktinya birokrasi dari dulu begitu-begitu saja. Tidak ada kebangkitan dari mental aparat sebagai pengabdi/pelayan masyarakat.

Revolusi mental yang digembar-gemborkan pemerintahan Presiden Jokowi, cuma hangat di awal-awal saja. Kalau diberi raport, nilai birokrasi belum ada yang sempurna. Aparatnya sudah karatan dengan tradisi, "kalau bisa lama kenapa mesti dicepatkan". Keruan saja mental semacam itu tidak bisa membungkam keluhan masyarakat.

Pelayanan yang remeh temeh saja, semacam prosedur pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), masih amburadul. Padahal sistem yang digunakan sudah lebih maju. Ada saja masalah yang muncul. Sementara praktik di lapangan, masih memunculkan pungutan liar (pungli).

Masih berlaku, asal menyodorkan uang pelicin, pelayanan apa saja dengan sigap direspons. Padahal, kondisi seperti itu tidak bisa dibiarkan. Itu sama saja menyemai bibit-bibit korupsi. Awalnya, memang tidak seberapa niai pungli yang diterima. Namun, karena ada rasa enak, bukan tidak mungkin nantinya mencoba hal-hal yang lebih besar.

Jangan berharap yang muluk-muluk

Lantas kapan dong, bangsa ini bisa bangkitnya. Harusnya jangan berharap yang muluk-muluk dulu. Sebab, selama ini ada kesan bangsa Indonesia baru bisa pada tahap sebagai pengekor. Selalu jadi korban budaya asing. Apa yang sedang trend di luar sana, maka dengan cepat melanda di negeri kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun