Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tamu

19 Mei 2010   19:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:06 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Cerpen Herman RN

Interior rumah yang sederhana. Sebuah meja di ruang tengah diapit dua kursi pendek. Sebuah lampu teplok tergantung di dinding. Sebuah lagi di atas meja. Sebuah poto anak lelaki berwarna klasik menghias dinding dari terpas rumbia itu. Seorang pemuda berpakaian mentereng terlihat sedang menikmati makanan di atas meja. Suasana malam dengan penerangan lampu minyak, menambah kilauan baju batik pemuda itu. Melihat pakaiannya, caranya makan, pemuda ini tak layak jadi penghuni rumah. Lain halnya dengan seorang ibu paruh baya yang sedang menampi beras di atas kursi panjang sebelah pojok, pakaiannya yang sudah usang itu memperlihatkan kalau ia memang pemilik rumah. Juga seorang gadis yang tengah memanaskan sesuatu di tungku, ia layak menjadi penghuni rumah sempit ukuran tiga enam itu. Tidak seperti lelaki yang sedang menyantap makanan.

“Nikmat sekali, sungguh, aku merasakannya.” Pemuda itu berkata seperti pada dirinya sendiri.

“Tuan mau nambah? Di dapur masih ada sedikit lagi.” Ibu tua itu melirik sesaat ke arah gadis di pinggir tungku. Gadis itu melototkan matanya seraya bersuara sedikit berbisik, “Ibu, ini tinggal untuk bapak.”

“Sudahlah, kasihan dia. Lagian dia tamu kita.” Suara ibu juga dibisikkan.

“O, saya boleh nambah? Baik sekali keluarga ini, sungguh saya sangat beruntung mendapatkan rumah ibu. Sebenarnya saya tidak selera makan, tapi sayur ini yang membuat selera makan saya terbuka. Ah, nikmat sekali kuahnya.”

“Itu kuah asam ke’eueng namanya, Tuan.” Ibu setengah baya itu menjelaskan dengan semangat. “Kuah itu salah satu kegemaran si Agam. Biasanya Agam juga nambah makannya kalau melihat kuah asam ke’eueng itu.”

“Si Agam?” pemuda itu melirik sejenak ke arah si ibu.

“Ya, si Agam anak saya yang laki-laki, Aduennya si Inong yang sedang masak itu.”

“Ibu juga mempunyai anak laki-laki?”

“Itu dulu.” Inong memotong pembicaraan pemuda itu.

Si pemuda itu menatap sekilas ke arah Inong, lalu melihat kembali ke arah ibu. Seolah ibu itu tau apa yang tersimpan dalam kepala si pemuda, ia kembali berujar.

“Sebenarnya saya mempunyai dua orang anak. Seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan. Yang perempuan, itu, Cut Inong.” Ibu itu menunjuk ke arah si gadis dengan mulutnya. “Yang laki-laki, namanya Agam Firmansyah. Tapi sayang dia sudah meninggal tujuh tahun lalu ketika kampung ini dilanda banjir besar. Waktu itu air laut naik, Agam tergulung dalam ombak besar. Sampai sekarang mayatnya tak ditemukan.”

“Maaf, saya membuat ibu bersedih.”

“Tak perlu ditangiskan yang sudah mati.” Inong menatap dingin ke arah ibunya yang terisak.

Si ibu bangkit menuju ke arah kamar. “Saya permisi ke kamar dulu, hendak siapkan tempat tidur untuk Tuan. Sebentar lagi suami saya pulang.” Ucapnya sambil menghilang di balik gorden pintu kamar.

Sekejap setelah ibu menghilang di balik goren, terdengar suara orang memberi salam dari luar. Tanpa menunggu jawaban dari dalam, seorang bapak-bapak masuk sambil membuka topi anyamannya yang dari kulit bambu. Bapak itu mengipas-ngipas badannya dengan topi, menatap tajam ke arah pemuda. Letih bercampur heran tersirat dari wajahnya yang mulai keriput.

“Bapak sudah pulang? Dia tamu dari luar negeri. Katanya dia tersesat dan hendak menumpang di rumah kita malam ini.” Inong menjelaskan kepada bapaknya yang masih menganga.

“Bapak, kepala rumah ini?” Ujar pemuda itu mencoba basa-basi.

“Siapa Tuan? Dari mana, hendak ke mana, dan mengapa Tuan sampai di rumah ini?”

“Saya dari jauh, Pak, dari luar negeri. Saya hendak memberikan bantuan di kampung ini, tapi saya kemalaman di jalan. Saya lihat rumah ini, saya ketuk pintunya. Saat istri bapak ke luar, saya katakan padanya kalau saya tamu dari jauh dan tersesat. Saya membutuhkan penginapan, untuk malam ini saja. Istri dan anak bapak memang baik, saya bahkan sudah diberinya makan.”

“Tak usah berbelit-belit, apa tujuan Tuan ke kampung ini? Kalau hanya hendak menipu orang-orang kampung seperti yang dilakukan orang-orang Tuan sebelumnya, lebih baik Tuan angkat kaki dari kampung ini sebelum orang kampung tahu. Asalkan Tuan tahu, kami sudah muak dengan janji orang-orang seperti Tuan. Katanya memberikan bantuan, tahunya perempuan dan anak-anak kami di jual. Sudah cukup pemimpin-pemimpin kami yang menipu kami, jangan tambah lagi dengan ulah Tuan-tuan yang berpura-pura memberi bantuan.”

“Sungguh, saya tak bermaksud seperti itu.” Pemuda itu mulai gugup.

“Baiklah kalau memang Tuan tidak seperti itu, apa yang Tuan lakukan malam-malam begini? Apa Tuan tidak takut berjalan sendiri di perkampungan pinggir laut seperti ini? Kampung ini sedang musim perampokan. Sehabis musibah, orang-orang kehilangan pekerjaan, akhirnya perampokan pun terjadi di sana-sini. Apa lagi setelah dikeluarkannya nota kesepahaman perdamaian antara pemerintah dan kelompok gerakan. Melihat orang asing seperti Tuan, berjalan sendiri dengan membawa tas segala?”

“Ah, tas? Tas ini maksud, bapak?” pemuda itu menunjuk ke arah tas yang tergeletak di lantai. “Tidak ada apa-apa dalam tas ini, tak ada barang berharga, hanya beberapa potong pakaian dan berkas-berkas tanda pengenal saya.”

“Tuan, tempat tidurnya sudah siap.” Ujar ibu yang baru keluar dari kamar secara tiba-tiba.

“Ya, sebaiknya Tuan istirahat saja.” Bapak menambahkan.

“Terimakasih, Pak, Bu. Saya ke dalam dulu, semoga Tuhan membalas kebaikan keluarga ini.” Pemuda itu pun berlalu ke kamar.

“Sepeninggal pemuda, Cut inong mendekati bapak dan berbisik. “Bukankah selama ini bapak selalu mengeluh kepada Tuhan? Itu rezeki diantar Tuhan.”

“Apa maksud kau?”

“Lihat tas tamu itu?! Aku yakin isinya uang. Kalau kita bisa mendapatkan uang itu, bapak tidak perlu lagi ke laut. Musim badai begini susah mendapatkan ikan.”

“Aku belum mengerti, Inong.”

“Bunuh pemuda itu, dan ambil semua uang dalam tasnya.”

“Apa kau sudah gila?!” Suara bapak sedikit mengeras.

“Tak perlu takut, bukankah dia sudah katakan, tak ada seorang pun yang melihat dia ke mari. Ini kesempatan. Ini lah rezeki yang selalu kita minta-minta kepada Tuhan. Jangan sampai sia-sia doa kita selama ini.”

“Tapi…”

“Sudahlah, aku dan ibu akan membantu menutupi kepalanya dengan sarung. Bapak tinggal bacok perut dan dadanya.”

“Kau benar-benar sudah gila. Penyakitmu kumat lagi.” Bapak membuang muka ke arah ibu.

“Aku sudah bosan hidup begini, aku ingin kaya. Apa bapak tidak ingin kaya? Apakah bapak suka menjadi tukang cari ikan terus? Kalau bapak mati ditelan gelombang seperti Aduen,baru bapak sadar. Lihat selama ini, untuk makan saja kita susah. Sudahlah! Ini rezeki dari Tuhan.”

Selepas berbicara, Inong mengambil selembar sarung dan parang yang diselipkan bapak sewaktu pulang tadi. Parang tersebut diberikannya kepada bapak. Kemudian ketiganya menghilang di balik gorden. Lalu terdengar suara jeritan dari dalam kamar. Ibu! Ibu! Ibu!

Sekejap kemudian bapak keluar dari kamar sang pemuda dengan parang berlumuran darah, disusul ibu dan Inong yang tersengal-sengal seperti baru selamat dari kejaran binatang buas.

“Hahaha… dia memanggil ibunya.” Suara Inong masih dalam keadaan tersengal.

“Sebaiknya kita bongkar tas itu sebelum ada yang datang.” Ibu mengingatkan.

Bapak bermaksud menuju ke arah tas si pemuda, namun sebelum sampai, seseorang masuk tanpa memberi salam. Bapak bergegas membuang parang ke bawah meja.

Seorang lelaki masuk sambil terhoyong-hoyong. Di tangannya tergenggam sebotol minuman. Kelihatannya dia sedang mabuk.

“A..aku tahu, ka..kalian pasti sedang bersenang-senang.” Ujarnya seperti orang tercekik.

Bapak, ibu, dan Inong tampak panik.

“Aku tahu, kalian sedang kedatangan rezeki. Hahaha… mana dia?”

“Kau tahu dia?” Bapak yang bersuara.

“Ya, aku tahu. Dia pasti datang kemari. Aku tahu…”

“Bagaimana mungkin?”

“Sebelum kemari, tadi dia bertemu aku di pojok jalan sana. Seperti biasa, aku dan teman-temanku sedang pesta. Kulihat dia datang membawa tas. Setelah kami dekati ternyata benar dia. Dia yang telah lama pergi sekarang kembali. Dia katakan padaku kalau dia akan datang pura-pura sebagai tamu dari jauh. Esoknya baru ia katakan siapa dirinya. Dia hendak memberikan kejutan. Kukatakan padanya, kau pasti tak tahan menyimpan rahasiamu semalaman. Kalian pasti senang. Mari! Mari kita rayakan pertemuan ini.” Ajak pemabuk itu seraya mengacung-acungkan minuman di tangannya.

“Pertemuan kembali?!” suara bapak sedikit tertahan.

“Dia memanggilmu, Ibu!” Inong bersuara parau sambil menatap ibu.

Ibu mulai melemas. Perlahan terduduk di lantai sambil meremas-remas sarung bekas percikan darah. Bapak melangkah ke arah tas. Dibukanya tas tersebut. Dari dalam tas terlihat sebuah poto lama yang mulai kabur. Bapak mencocokkan poto dalam tas itu dengan poto yang terdapat di dinding rumah. Nyaris sama. Bapak membongkar seluruh isi tas. Ia teliti satu per satu kertas yang dikeluarkannya dari dalam tas tersebut. Selembar kertas tanda pengenal terbaca oleh bapak, “Agam Firmansyah.”

Tubuh bapak melemas, perlahan setetes air jatuh di atas kertas yang dipegangnya. Tubuhnya bergetar hebat. Sedangkan ibu dan Inong sudah menangis di tempatnya masing-masing. Tubuh mereka berkuncang hebat menahan isak.

Sementara itu, si pemabuk itu masih tertawa sambil berteriak, mari rayakan kemenangan ini!

Koeta Radja, Juli 2006

Kosa Kata Aceh:

Asam ke’eueng: masakan khas Aceh tanpa menggunakan kelapa,

hanya asam dan cabai.

Aduen: kakak lelaki/ abang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun