Mohon tunggu...
Julian Reza
Julian Reza Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kemiskinan dan Pertanian di Indonesia

4 Mei 2017   16:29 Diperbarui: 4 Mei 2017   16:38 5177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Di Indonesia, kemiskinan hampir selalu identik dengan pedesaan dan pertanian. Lebih dari 60% orang miskin Indonesia hidup di pedesaan. Selain itu 40% tenaga kerja di Indonesia bekerja di sektor pertanian yang berarti dapat saja merupakan bagian dari 60% orang miskin tersebut. Ini menunjukkan kalau bekerja sebagai petani identik dengan kemiskinan karena tidak mampu untuk menjadi harapan penopang hidup. Ironis memang, di Negara yang katanya Negara agraris ini ternyata jumlah orang miskin terbanyak justru berada di sektor pertanian. 

Untuk membedah masalah kemiskinan dan pertanian ini maka harus diketahui bahwa permasalahan kemiskinan di pertanian ini terdiri dari 3 hal, yaitu petani yang miskin, produk pertanian yang murah ( kecuali kalau terjadi kelangkaan ) dan kebijakan yang kurang mendukung sektor pertanian.

Petani yang miskin terjadi karena banyaknya petani gurem, yaitu petani yang memiliki lahan kurang dari 0,50 hektar ( Gatot Irianto, 2016: Lahan dan Kedaulatan Pangan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama ), termasuk didalamnya buruh tani yang tidak memiliki lahan. Buruh tani ini hanya bekerja secara musiman dengan upah rendah mengingat lapangan kerja yang tersedia di desa dan sesuai dengan kualifikasi pendidikan mereka hanyalah menjadi buruh tani, tidak ada pilihan lain kalau tidak mau menganggur. Maka berbondong – bondonglah petani – petani ini bekerja di lahan pertanian sehingga surplus tenaga kerja ini membuat persaingan memperoleh pekerjaan yang sifatnya hanya musiman ini menjadi ketat dan berakibat pada minimnya upah mereka ( Ahmad Erani Yustika, 2002, Pembangunan dan Krisis, Jakarta: Grasindo ). 

Lahan pertanian tempat mereka bekerja juga umumnya dimiliki oleh petani yang hanya sedikit lebih beruntung dari mereka.Kelompok petani kedua ini yang juga disebut petani gurem mencangkup 50% dari keseluruhan petani Indonesia, yaitu mereka yang hanya punya lahan pertanian seluas 0,50 hektar saja ( bahkan sebagian besar dari yang 50% itu sesungguhnya hanya memiliki lahan seluas 0,25 hektar saja ). 

Jumlah ini lebih rendah dari jumlah lahan yang dimiliki oleh petani di Taiwan ( 2 - 5 hektar ) dan di Vietnam ( 2 –4 hektar ). Dengan jumlah lahan pertanian yang rendah, mereka hanya mampu menggunakan hasil panennya untuk kebutuhan keluarga semata ( subsisten ) dan untuk membayar upah buruh tani musiman sehingga tidak banyak yang tersisa untuk dijual ke pasar sebagai pendapatan tambahan.

Selain itu, 70% petani pemilik lahan di Indonesia ini masih belum memiliki sertifikat sehingga kerap muncul konflik. Masalah tanah saat ini mendominasi hampir 80% dari konflik social yang terjadi di Indonesia ( Gatot Irianto, 2016: Lahan dan Kedaulatan Pangan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama ). Tanah bisa dengan mudah beralih fungsi menjadi proyek pembangunan perumahan atau komplek pabrikmaupun lokasi wisata, baik karena posisi lemah pemilik tanah akibat ketiadaan sertifikat tanah maupun karena iming – iming harga jual tanah yang tinggi. 

Alih fungsi lahan ini berpotensi mengurangi kemampuan nasional untuk mencukupi kebutuhan pangan bagi rakyat kita sehingga menyebabkan semakin besarnya jumlah bahan pangan impor yang membanjiri pasar dalam negeri. Harga produk pertanian menjadi turun dan sekali lagi, petanipun termiskinkan.

Dari sini tergambar jelas kalau pendapatan petani gurem tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian mereka. Oleh karenanya maka 80% dari mereka mencari sumber pendapatan off-farm ke kota ( Yustika, 2002 ). Dikota, lapangan pekerjaan tersedia dalam bentuknya yang beragam, tidak seperti di desa yang hanya berdasarkan pada sektor pertanian semata. Akan tetapi lagi - lagi disini mereka juga menghadapi kendala karena tuntutan kerja di kota yang menuntut kualifikasi pendidikan yang memadai juga tidak dapat mereka penuhi. 

Sebagai hasilnya maka jadilah mereka bekerja di lapangan pekerjaan yang berupah minim dan juga musiman seperti buruh bangunan, penjaja makanan kecil, pengamen dan lain – lain. Inilah yang menjadikan mereka sebagai kalangan miskin perkotaan dan menyebabkan munculnya satu lingkaran setan, orang miskin desa pindah ke kota dan menjadi orang miskin kota. Pertanian yang tidak berkembanglah penyebabnya.

Produk pertanian yang dihargai murah terjadi karena sistem pengelolaan pertanian yang masih tradisional sehingga kualitas produknya kurang baik ( kalah dengan produk impor ), jumlah produksinya terbatas yang membuat pangsa pasarnya dibanjiri oleh produk impor ( sehingga turut membuat harga jual menurun) dan waktu pengiriman yang lama karena infrastruktur yang belum baik ( baik fisik seperti jaringan jalan maupun sistem seperti dwelling time di pelabuhan ) sehingga biaya pengiriman menjadi mahal tetapi kualitas menjadi turun selama masa pengiriman tersebut ( 40% sayuran yang di ekspor ke Singapura mengalami kerusakan selama menjalani sistem pengangkutan dan penyimpanan, 20% jeruk dari Sulawesi ke Jawa mengalami kerusakan selama masa pengiriman ini dan banyak contoh lainnya, baca Iskandar Andi Nuhung, 2014, Strategi dan Kebijakan Pertanian Dalam Perspektif Daya Saing, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta ). ).

Selain itu, produk pertanian kita tidak banyak yang diolah di dalam negeri, kebanyakan di ekspor dalam bentuk komoditas ( raw material atau bahan mentah ) sehingga tidak menciptakan nilai tambah bagi perekonomian nasional melalui multiplier effect-nya ( seperti pembukaan pabrik pengolahan yang menghasilkan beragam produk olahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pasar yang lebih banyak dan beragam serta terbukanya banyak lapangan kerja karena kegiatan pengolahan tersebut ). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun