Mohon tunggu...
Pecinta Teh
Pecinta Teh Mohon Tunggu... -

Sarjana hukum, tapi masih lanjut belajar lagi mumpung masih muda dan punya waktu | Nulis dan ngomong hal-hal yang kupahami serta bermanfaat bagi banyak orang, tapi dengan caraku sendiri | Suka diskusi dan sedang berusaha terus rajin membaca

Selanjutnya

Tutup

Hukum

KPU vs Caleg, Menilik Jernih Putusan MA: Siapa Pro Koruptor?

6 Oktober 2018   16:00 Diperbarui: 10 Oktober 2018   18:41 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kemlu.go.id/tehran/id/Pages/PEMILU-2019.aspx

Mahkamah Agung melalui beberapa putusannya telah membatalkan berlakunya ketentuan dalam Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 dan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang menutup ruang bagi mantan terpidana korupsi untuk dapat mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Tindakan tersebut menimbulkan pro kontra dan mengesankan MA sebagai lembaga yang pro terhadap koruptor.

MA disebut tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Direktur Ekskutif Perludem misalnya, yang menyebut kecewa dengan putusan MA dan seharusnya MA dapat menunjukkan progresivitas dalam pengujian Peraturan KPU terkait. 

(http://www.tribunnews.com/nasional/2018/09/15/perludem-mahkamah-agung-tak-dukung-pemberantasan-korupsi) Demikian pula dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui salah satu penelitinya, Almas Sjafrina, yang menilai putusan MA telah melemahkan semangat antikorupsi. (http://news.metrotvnews.com/politik/3NOn8wWK-icw-nilai-ma-abai-soal-pemberantasan-korupsi)

Semua diskursus tersebut bermula dari diterbitkannya PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah (PKPU 14/2018) dan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU 20/2018). 

Kedua PKPU tersebut tidak memungkinkan para mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi untuk dapat mencalonkan diri sebagai anggota DPD, DPR, maupun DPRD.  Pasal 60 ayat (1) huruf g dan j PKPU 14/2018 memberikan syarat bahwa yang dapat menjadi bakal calon perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.

Ketentuan serupa dapat ditemukan dalam PKPU 20/2018. Pasal 4 ayat (3) menentukan bahwa mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi tidak dapat diikutsertakan dalam seleksi bakal calon anggota DPR maupun DPRD. Pasal 11 ayat (1) huruf d mensyaratkan adanya pakta integritas yang ditandatangani pimpinan partai politik sebagai salah satu dokumen persyaratan bakal calon. 

Dalam pakta integritas tersebut, dicantumkan beberapa pernyataan yang intinya seluruh bakal calon anggota DPR maupun DPRD yang diajukan bukan merupakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan/atau korupsi.

Pasca diundangkannya dua PKPU tersebut, para calon anggota legislatif yang sebelumnya pernah menjadi terpidana korupsi memanfaatkan haknya dengan mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil ke MA. Lucianty yang merupakan mantan terpidana korupsi misalnya. Akibat diundangkannya PKPU 14/2018, ia tidak bisa mencalonkan diri sebagai anggota DPD dari Provinsi Sumatera Selatan. Permohonan keberatan hak uji materiil yang diajukannya, dikabulkan oleh MA dalam Putusan Nomor 30 P/HUM/2018.

Pasal 4 ayat (3), Pasal 11, dan Lampiran Model B.3 dalam PKPU 20/2018 juga dibatalkan oleh MA melalui Putusan Nomor 46 P/HUM/2018. Permohonan keberatan hak uji materiil dalam perkara ini diajukan oleh Jumanto yang sebelumnya juga pernah menjadi terpidana korupsi.

Pertanyaannya, apakah kedua putusan MA tersebut sudah tepat? Sebelumnya patut diketahui bahwa terdapat asas hukum "Res Judicata Pro Veritate Habetur" yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar sampai memperoleh kekuatan hukum tetap atau diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi. Prinsip ini dijelaskan Sudikno Mertokusumo dalam bukunya yang berjudul Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar (2006: 7), seperti dikutip Hukum Online (https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5301326f2ef06/arti-res-judicata-pro-veritate-habetur).

Namun demi meluruskan persepsi publik yang acapkali keliru, akan diidentifikasi putusan MA tersebut dengan melihat pertimbangan hukum dan kewenangan MA. MA adalah lembaga peradilan yang pembentukannya diamanatkan UUD 1945 dan memiliki beberapa kewenangan. Salah satu kewenangan yang tercantum dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun