Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Serdadu Tua dan Penghianatan Waktu

30 Agustus 2016   01:19 Diperbarui: 30 Agustus 2016   08:54 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : http://victoralexandertan.com/

Entah sudah berapa kali cerita itu ditebar pada kumpulan telinga. Sudah tak cukup jari menakar jumlah. Isinya masih sama. Tentang desing peluru. Darah yang merah. Dan api semangat yang tak pernah padam saat nyawa-nyawa meregang dalam kesepian.

Mungkin cerita itu ingin agar setiap telinga bisa membuat kepala mengangguk dan jiwa merunduk. Tapi yang tersaji adalah rancunya batas antara perduli dengan ketidakperdulian. Samr kudengar jujur berbisik, kepala dan telinga itu sebenarnya  ingin menjauh. Dan kalau bisa, memilih berteriak pada angin ; orang itu gila!

Serdadu tua itu tak pernah tahu. Waktu dan peristiwa hanya pertemanan sesaat. Mereka bukan dua sahabat saling beriring dan memahami.

dia hanya tahu.
Keduanya mempelai setia. Dua jiwa dalam satu biduk yang bisa didayung ke segala tanah muara. Tempat jiwa miliknya bisa bertunas. Kemudian membesar dan berbuah.

dia tak pernah tahu.
Waktu bukanlah sosok yang setia. Waktu adalah penghianat paling kejam bagi peristiwa.

Waktu tak pernah mau tahu.
Serdadu tua itu adalah pelaku peristiwa. Menyatu didalam darah dan jiwanya. Selalu dibawanya ke panggung-panggung penumbuh rasa. Kepada setiap orang, yang dikiranya penikmat.

Aku pernah ingin bicara padanya. Tentang waktu yang tak setia. Tentang tempat waktu mereguk nikmat kekinian.

Sontak jaman menahanku. Ditariknya tanganku ke depan, kemudian berkata "Tak usah kau perdulikan serdadu tua itu. Dia orang gila !"

Aku terjebak ambigu. Jaman adalah anak kandung sekaligus sekutu waktu. Tempat kini aku makan dan minum. Oleh waktu aku jadi anak jaman.
Tentunya waktu tak ingin mati sia-sia hanya untuk mengurus serdadu tua itu.

Saat terjebak ambigu, kulihat nurani menangis kala melihat waktu berlaku kejam. Sementara aku hanya bisa terdiam.

Aku pun pergi berlari ke menara gading. Mengadukan semua itu. Menara hanya berpesan ;  "Bersabarlah pada si Serdadu Tua. Cerita yang selalu dibawanya dalam tas usang itu adalah benih peradaban. Satu masa, waktu bisa saja membunuhmu bila kau lengah. Tapi kalau kau memiliki benih dari serdadu tua itu, kematianmu hanya sebuah seremonial menuju keabadian hidupmu"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun