Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kerja Budaya dan Komodifikasi Identitas Hari Raya

23 Juni 2017   03:07 Diperbarui: 23 Juni 2017   19:43 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Gohitz.com

Lebaran tak lengkap kalau tak ada ketupat. Hampir semua orang akan setuju pernyataan itu. Atas "tuntutan" kelengkapan itu maka (menu) ketupat identik dengan lebaran, atau sebaliknya Lebaran identik dengan (menu) ketupat. Selanjutnya, ketupat menjadi "penanda" dalam berbagai media (kartu ucapan, spanduk, hiasan, dll) untuk menyatakan kehadiran hari raya lebaran. Hal itu bisa kita bisa lihat di ruang publik seperti mal, pasar, jalanan, perkantoran, toko, bahkan rumah kediaman.

Ketupat sebagai Identitas lebaran sama halnya pohon natal (sejenis pohon pinus) untuk hari raya umat Kristiani. Hari raya Imlek (umat Konghucu) identik dengan lampion dan warna merah. Hari raya Galungan dan Kuningan umat Hindu ada Penjor. Pada hari raya Waisak umat Buddha ada Candi atau patung Buddha.

Kalau ditelusuri asal munculnya agama Islam yakni di tanah Arab, apakah ada ketupat di sana? Apakah di zaman Nabi Muhammad merayakan Idul Fitri ada menu ketupat? Tentu tidak ada. Kemunculan Ketupa sebagai identitas berangkat dari 'budaya'. Itu artinya agama (perayaan hari besar) melebur dalam budaya suatau kelompok masyarakat. Sama halnya dengan "penanda" di perayaan agama Nasrani, Hindu, Budha, dan Konghucu. Nabi penyebar masing-masing agama tidak "memerintahkan" umatnya "memasang" penanda tersebut untuk merayakan hari besar.

Kemunculan Identitas dan Penanda

Setiap agama memiliki sejarah identitas dan munculnya "penanda" tersendiri. Masing-masing agama dan penanda itu lahir oleh "kerja budaya" yang berakar kuat dalam suati kelompok masyarakat. Kelahirannya berangkat dari "kebutuhan alami" manusia akan simbol untuk menyatakan sesuatu. Konteks hari raya adalah bukan hari biasa menjadikan kebutuhan alami itu lebih mengemuka.

Dalam perkembangannya, hari raya yang awalnya merupakan ranah religius yang kemudian jadi bagian dari budaya. Kemudian dari hal itu muncullah religiusitas budaya, yakni suatu suasana religius yang lekat dengan kebudayaan.

Proses pencarian manusia (kelompok kebudayaan) dari ranah religius itu "memaksa" mereka mengambil unsur budaya dengan harapan sebagai pemersatu di dalam religiusitas mereka. Sementara kelompok di luar religius itu pun bisa merasakan suasana religiusitas perayaan tersebut. Proses itu bisa disebut sebagai bagian komodifikasi hari raya.

Penanda dan Keilahian

Satu hal yang unik bahwa "Penanda" dan "Identitas" Hari Raya itu tidak serta merta mewakili "Keilahian" ranah religius secara harafiah. Artinya, Ketupat bukan mewakili Tuhan agama Islam. Pohon Natal bukan mewakili Tuhan agama Nasrani. Penjor bukan mewakili Tuhan agama Hindu. Candi bukan mewakili Tuhan agama Budha. Lampion bukan mewakili Tuhan agama Konghucu. Namun demikian, dalam konteksi konsep budaya masing-masing kelompok masyarakat bisa saja penanda itu "pada akhirnya" mampu menjelaskan "keilahian". Tentu saja penjelasannya berdasarkan "kerja budaya atau dinamika budaya", dan bukan atas kerja kitab suci masing-masing agama.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dipahami bahwa kini hari raya keagamaan tak semata menegaskan religiusitas suatu agama saja, melainkan menjadi milik suatu budaya. Satu hal lagi bahwa suatu budaya adalah milik banyak orang tanpa sekat agama. Oleh karena itu diluar konteks ritual agama, maka perayaan suatu hari raya juga telah jadi milik semua orang diluar agama tersebut.

Perayaan agama telah menjadi bagian merayakan suatu kebudayaan. Oleh adanya kerja budaya yang memunculkan identitas dan penanda itulah maka perayaan hari besar suatu agama bisa dirasakan oleh orang-orang diluar agama itu baik di ruang khusus maupun di ruang publik. Lezatnya ketupat lebaran bisa dinikmati orang non-muslim. Pohon natal bisa disaksikan (dinikmati) orang non Nasrani. Penjor bisa disaksikan orang non Hindu. Lampion bisa dinikmati orang non Konghucu, Candi bisa dinikmati orang non Budha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun