Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Kenapa Status dan Jabatan Melekat di Pemberitaan Perilaku Miring?

6 Agustus 2016   15:04 Diperbarui: 6 Agustus 2016   16:49 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar ; https://assets.kompas.com/data/photo/2015/04/01/0915070eka-442780x390.jpg"][/caption]

"Pengacara 'Koboi' yang Todong Pengunjung di Minimarket Jadi Tersangka".

"Lepaskan Tembakan di Minimarket, Pengacara 'Koboi' Ditangkap"

Demikian judul berita terbaru di media yang bikin heboh. Pada beberapa pemberitaan di kasus yang sama, Status/Jabatan "Pengacara" tetap muncul. Begitu pula setelah baca isinya, konteks Pengacara lebih sering tertulis. Bukan justru nama si Pelaku penodongan. Padahal orang tersebut punya nama yang melekat di dirinya sebagai identitas individu.

Hal serupa sering kita lihat dan baca untuk Jabatan/Status Pekerjaan lain, misalnya " Dosen Tewas Ditabrak Gerobak" ; "Guru ditangkap ketahuan Ngupil di Minimarket" ; "Wartawan Ditahan Polisi Karena Mencuri Jambu" ; atau "Seorang Direktur Cantik Naksir Kompasianer Tanpa Celana", ..Heu heu heu..Seorang Silent Reader tertangkap razia Dinas Sosial karena Tertawa sendiri di Jalan saat membaca Tulisan Kompasianer Pebrianov'

'Bablas-isme' Masyarakat dan Media

Pihak media yang memberitakan informasi kejadi memilih judul yang kiranya akan menarik banyak pembaca. Ini sebuah 'trik jurnalisme'. Trik tersebut berdasarkan kecenderungan sebagian besar publik 'suka' pada gelar atau jabatan yang tersemat pada seseorang. Gelar atau jabatan itu lebih penting dari nama orang. Lebih menarik untuk dilihat dikaitkan peristiwa yang dialami seorang individu. Pihak Media pun memanfaatkan itu untuk kepentingan bisnisnya, bukan justru mengedukasi publik misalnya memberitakan kejadian dengan mencantumkan nama atau inisial nama. Disinilah Masyarakat dan Media kebablasan.

Kalau saja media membiasakan diri memberitakan sesuai konteks kedian dan profesi, tentunya publik juga akan terbiasa dan secara tidak langsung teredukasi. Bagaimanapun sebuah nama sebagai identitas Individu jauh lebih informatif dan mengena di publik. Mereka langsung tahu 'siapa' Pelaku suatu kejadian. Bisa jadi dengan pencatuman nama atau inisial keluarga dan kerabat langsung mengenalnya untuk diproses sesuai kepentingan mereka.

Kesempurnaan Perilaku dan Profesi 

Sebuah jabatan atau status profesi merupakan tanggungjawab si Pemegang jabatan itu. Dia harus mampu menjaga kode etik profesinya. Konteksnya adalah segala hal yang berkaitan dengan profesinya, baik di kalangan internal profesi atau pun di tengah masyarakat.

Kalau seorang Pengacara, Dokter, Dosen, Guru, Notaris, dll melakukan tindakan yang berlawanan dengan profesinya, maka wajar bila pemberitaan membawa nama profesi, Misalnya ; 'Seorang Dosen Wanita Melakukan Pelecehan Seksual terhadap Mahasiswanya'. Namun aneh dan sangat tidak adil bila seseorang yang kebetulan berprofesi Dosen tertabrak kemudian diberitakan, misalnya; "Seorang Dosen Universitas Ternama Tewas di Tabrak Gerobak". Kenapa bukan namanya yang dicantumkan, ya? Heu heu...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun