Berkaitan dengan penulis yang pernah pamit secara resmi kemudian kembali menulis di Kompasiana, ketika gagasan awal tulisan ini dimulai dengan pertanyaan 'mengapa', secara otomatis diikuti beberapa turunan.
Apakah si Penulis kangen Kompasiana? Kalau 'kangen" dianggap sebatas 'hanya', mengapa harus mengorbankan komitmen diri yang sudah dinyatakan secara terbuka? Apakah kekuatan besar kangen Kompasiana membutakan diri sehingga secara sadar melanggar komitmen diri?
Apakah setelah beberapa waktu menjalani rutinitasnya di luar Kompasiana, Si Penulis tiba-tiba mendapatkan tuntutan atau paksaan pihak tertentu agar kembali menulis di Kompasiana?
Apakah Si Penulis ketika menjalani rutinitas di luar Kompasiana mengalami siksaan kesepian yang sangat besar, sehingga mau kembali menulis di Kompasiana dianggap lebih ramai walau pernah merasa disakiti Kompasiana?
Apakah Kompasiana memiliki daya candu yang besar, sementara Si Penulis imannya tipis sehingga jadi goyah dan kalah, kemudian terjerumus kembali berasyik masyuk berkompasiana?
Apakah Kompasiana dihuni mahluk penggoda yang memiliki daya magis yang kuat, sementara si Penulis tertentu tak punya jimat penangkal,  sehingga kalah dalam pertarungan, kemudian si penulis  jadi budak mahluk magis tersebut?
Apakah anda kesal pada diri sendiri setelah membaca artikel ini kemudian menyesal, padahal anda berharap banyak mendapatkan temuan gagasan baru?
Tulisan ini nampaknya sudah cukup panjang pada bagian pembukaan tema "Kompasianer  pamit yang balik menulis". Ini sebuah artikel yang tergolong sensitif. Â
Untuk sementara saya pamit dulu, tapi bukan pamit dari Kompasiana, melainkan mau tidur karena sudah ngantuk. Besok saya lanjutkan pembahasan tema ini lebih mendalam, dengan catatan tidak janji.Â
Semoga artikel ini dapat dijadikan inspirasi.
---
peb10092021