Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Dramatisasi Politik Pasca Pilpres, Mimpi "Ejakulasi Prematur" yang Meleset

13 Mei 2019   15:59 Diperbarui: 13 Mei 2019   16:36 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan calon presiden dan wakil presiden 2019. Sumber kompas.com

Tadinya banyak orang mengira usai pencoblosan pilpres, maka usai pula berbagai ketegangan politik. Bahkan ada yang menginginkan ejakulasi prematur, "ben cepet bubar tegange". Iiih, apaan siih?

Gini lho sobat-sobit,  jauh hari sebelum Pilpres, banyak teman-teman di dumay (dunia maya) dan duta (dunia nyata) menginginkan pilpres segera berakhir. Katanya kalau perlu besok saja Pilpresnya, biar lusa dan seterusnya bisa aktifitas dan berelasi secara normal. Lho, kapan relaksasi dan mandi keramasnya? Husss! Dasar wong edan! Mandinya orang kok kamu urus. KPU dan Bawaslu aja ndak pernah urus soal mandi keramas pasca pilpres. Betul tidaaak ? Heu heu heu....

Kembali ke laptop.  Masa Pilpres 2019 yang panjang menciptakan suasana ketegangan politik yang lama di dalam kehidupan masyarakat. Mereka adalah rakyat kecil, kaum yang sebenarnya berada pada posisi "nrimo" apapun keputusan konstitusional para wakilnya di tingkat elit politik dan pemerintahan. Mereka merupakan kaum yang sudah mempercayakan para elit untuk menentukan detail kebijakan pembangunan demi rakyat. Demi kepentingan bersama.  

Habis pilpres, mereka taunya kembali menjual gorengan, buka warung, narik penumpang, pergi ke sekolah, pergi ke kantor, dan lain sebaginya untuk menghidupkan diri dan keluarganya. Mereka kembali bercanda dengan teman, nonton bola bareng, kerja bakti pada akhir minggu di kampung, kumpul-kumpul ngalor ngidul penuh canda sebagai anak bangsa yang sejak dulu memang sudah guyup dalam suatu Kohesi Sosial yang mantap surantap. Kohesi Sosial itu merupakan peninggalan nilai-nilai penting para nenek moyang kita dari seluruh nusantara.

"Casandra, menunggang kuda dan bergantungan di pohon dengan kepala terbalik itu jangan kau kira tidak melelahkan. Pegel tau!"

"Rudolfo, jangan kira kau saja yang lelah. Berenang rame-rame di kolam juga sangat melelahkan. Pegel tau!"

"Oh, Casandra, ternyata kita sama sama-sama lelah. Kita sama-sama jenuh. Kalau begitu, bolehkah kita berpelukan untuk membangun kembali energi kita yang terbuang karena kebodohan kemarin?"

Jelas harus diakui, kedua kelompok kubu politik di tingkat bawah sama-sama lelah. Sama-sama jenuh dengan Demokrasi yang telah jadi Drama berkepanjangan. Awalnya, sebagai wong cilik penuh semangat dalam perjalanan sejarah kontemporer bangsa ini yang memberikan kebebasan berekspresi. Demokrasi memberikan panggung yang lebar dan "soundable". Sesuatu yang dulu menjadi impian para wong cilik. Namun nyatanya "Dramatisasi Demokrasi" kini telah menjadi hantu menakutkan bagi Kohesi Sosial yang dulu jadi jati diri bangsa ini.

Harusnya, usai pesta kita segera pulang ke rumah guyup. Harusnya kita jangan kalah sama putri Cinderella yang tahu batas pesta tengah malam. Tahu kapan harus pulang. Tak larut menikmati turunan pesta hingga melewati tengah malam. Sangat melelahkan.  

Pilpres telah usai, namun dramatisasi politik ternyata berlanjut dalam pestanya sendiri. Pesta yang  milik para elit yang dipenuhi pertentangan, menampilkan Habitus negatif yang menguras energi rakyat, para kaum wong cilik.

Sejatinya kita jangan ikutan terlalu dalam setiap sequen mereka yang membuat "pening palak". Biarlah semua itu menjadi tanggungjawab lembaga yang konstituisonal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun