Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Maling Teriak Maling, Kecurangan dan Delegitimasi Pemilu

15 April 2019   18:02 Diperbarui: 15 April 2019   18:09 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : cover buku

Hampir tidak ada orang yang mau kemalingan. Sesuatu yang sejatinya menjadi hak, diambil secara diam-diam oleh pihak lain. Akibatnya timbul rasa kesal, marah, geram, benci tapi tanpa rindu...#eeh.

Seringkali yang jadi persoalan si korban bukan besaran barang yang diambil si maling, melainkan "perasaan kecolongan" atau "perasaan dicurangi" lebih dominan.  Sebagai contoh, bila kita memiliki sandal yang harganya mungkin tidak mahal. 

Sandal itu biasa kita pakai di lingkungan sekitar rumah, misalnya untuk pergi ke warung, ke rumah tetangga, dan lain-lain. Suatu ketika saat berjalan menuju warung tiba-tiba teringat lupa bawa dompet.  Lalu buru-buru kembali ke rumah untuk ambil ambil dompet. Sendal yang tadi dipakai diletakkan di teras rumah.

Setelah dompet didapatkan, segera ke berangkat lagi ke warung. Ternyata sendal yang tadi disimpan diteras sudah hilang digondol maling. Padahal masuk ke rumah tidak lama.

Reaksi pertama ketika mengalami hal tersebut tentu kesal, dongkol, dan entah apa lagi. Baru kemudian nyadar, dan mengiklaskan sandal itu sembari bergumam, semoga si Maling kelak diterima disisi om Polisi. Tentunya om Polisi laki-laki yang sangar, dong!  Jadi buka dengan mbak Polisi yang cantik. Kalau gitu sih aku juga mau jadi maling....heuheuheu...

Maling Konvensional 

Maling sandal seperti itu termasuk kategori maling konvensional. Dia bertindak sendiri tanpa ada orang yang tahu sebelumnya. Tujuannya mendapatkan hasil yang dinikmati sendiri. Sementara si korban juga bersifat perorangan. Kesal,  ya kesal sendiri. Dongkol, ya dongkol sendiri. Jadi kondisi "malingisitas" atau kemalingan itu tercipta dari "relasi" dua pihak secara personal.

Jaman sekarang ada juga model maling yang tidak konvensional. Malingnya bersifat modern. Pelakunya kumpulan orang pinter.  Mereka bekerja secara team work. Hebatnya, maling ini sebelum beraksi atau setelah kejadian berteriak maling.

Cara kerjanya sangat terencana. Mereka hapal medan operasinya karena terlebih dahulu mempelajari secara detail situasi lapangan dan profil calon korbannya. Ada yang bertugas sebagai eksekutor pengambil barang yang bukan hak nya. Ada yang bertugas sebagai tukang teriak. Ada yang bertugas sebagai penghasut masyarakt sekitarnya. Ada yang bertugas sebagai pencipta opini sesat di dalam masyarakat dan aparat hukum.

Dalam melakukan aksinya, maling teriak maling terlebih dahulu menciptakan kondisi lingkungan tidak aman, sedang ada ancaman, dan bahkan menuduh aparat berwenanglah yang jadi maling. Masyarakat dibuat menjadi kacau oleh mal-informasi, dis-informasi,  hoaks dan fitnah. Mereka menggunakan berbagai bentuk permodelan atau peraga sehingga masyarakat menjadi percaya hasutan mereka. Mereka membuat setting bahwa aparat tidak bisa dipercaya.

Hal tersebut dilakukan secara halus dari mulut ke mulut. Dari media ke media. Pelaku bagian ini adalah orang orang-orang yang paling berpengariuh dan pintar dimata publik.  Mereka merupakan tokoh yang kiranya dipercaya publik. Mereka seolah menjadi pahlawan di kekacauan informasi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun