Ada yang menyolok dalam pertandingan akbar Pilpres 2019, yakni nyaringnya yel-yel politik identitas religi (keagamaan) dari pendukung kedua kubu. Mereka meneriakkan keislaman kedua tokoh petarung ; Jokowi dan Prabowo.
Saking kuat dan riuhnya "bunyi yel-yel" itu sehingga menghasilkan gema berlebihan dan kemudian timbul  noise (derau) di ruang publik. Penyebabnya adalah strategi politik yang masif dan keluar kontrol etika serta beragamnya tingkat kedewasaan berdemokrasi para pendukung aktif masing-masing kubu. Celakanya, pada level terendah justru mendominasi semua itu.
Tingkat kedewasaan berdemokrasi itu merupakan infrastruktur akustik ruang laga---yang sejatinya menghasilkan suara harmoni dan indah berdemokrasi. Namun nyatanya, akustik itu belum memadai. Akibatnya, publik awam (penikmat suara di luar pendukung militan)  jadi terimbas gema dan derau. Mereka dibuat bingung soal suara demokrasi yang benar (asli) dan nyaman dinikmati. Mereka dibuat terganggu  Derau yang kemudian muncul.
Gema adalah pemantulan bunyi yang diterima oleh pendengar beberapa saat setelah bunyi langsung. Pada kadar tertentu, pendengar masih bisa mendengar dan membedakan dengan jelas suara asli dan suara gema.
Gema yang baik justru bisa memperindah suara. Pada konteks Pilpres, mereka bisa menikmatinya sebagai "keindahan akustik demokrasi". Di luar kadar tertentu itu, maka yang terjadi adalah kekacauan suara yang tak nyaman didengar.
Derau (noise) adalah adalah suatu sinyal gangguan yang bersifat akustik (suara), elektris, maupun elektronis yang muncul pada suatu sistem berupa gangguan yang bukan merupakan sinyal yang diinginkan.
Dalam konteks dunia politik dan demokrasi, derau yang seringkali "terdengar" adalah yang bersifat Man-made noise, yang diartikan sebagai noise yang dihasilkan manusia. Mereka berlaku dan bertindak diluar kontrol internal, sehingga menghasilkan suara yang mengganggu lingkungan pendengar yang lebih luas.
Derau pada Babak Pertarungan
Pada babak-babak awal pertarungan, kubu Prabowo ingin membentuk stigma bahwa kadar keislaman Jokowi sangat rendah, dengan cara menyerang secara nyaring soal keislaman Jokowi. Maka diteriakanlah "yel-yel" Jokowi anti Islam, kriminalisasi ulama, Jokowi dari keluarga PKI, dan lain-lain.
Teriakan itu begitu nyaring menutupi yel-yel pembelaan kubu Jokowi. Teriakan keras itu bergema dari dunia maya ke dunia nyata dan sebaliknya. Dari satu platform blog dan medsos ke platform blog dan medsos lainnya sampai ke panggung-panggung publik dunia nyata.
Sebagian publik awam yang kebingungan terjebak mempercayai stigma itu. Hal tersebut  yang diinginkan kubu Prabowo. Artinya, selain citra Jokowi jatuh dimata publik kemudian berpaling ke Prabowo, kubu Prabowo berharap bisa mendulang suara publik yang mempercayai stigma tersebut.