Mohon tunggu...
Y.Padmono Dr.
Y.Padmono Dr. Mohon Tunggu... -

Saya seorang dosen yang terlambat belajar iptek.Hoby Olahraga, baca, dan musik. Saya harus terus belajar!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Arti Senyum dan Topeng Diri

6 Maret 2010   10:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:35 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ketika seseorang bertemu orang lain, berbagai ekspresi ia tampilkan. Ada yang senyum simpul kecil, meskipun belum saling mengenal, ada yang mengangguk, meskipun hanya kenal secara fisik karena seringnya bertemu, tetapi tak pernah bercakap, dan berbagai ekspresi yang lebih ekspresif, berteriak, melampaikan tangan, tos, berjabat tangan, dan sebagainya.

Kita juga sering berhadapan dengan banyak individu dalam suatu kelompok komunitas yang memiliki kepentingan sejenis, kita senyum, menyapa, berbicara, dan terus berkomunikasi. Kita lihat ada yang mengangguk-angguk, ada yang acuh tak acuh, ada yang bergeming dalam kesibukannya, dan ada yang tak bergeming kemudian menyelesaikan aktivitasnya, selanjutnya masuk dalam situasi yang barusan kita ciptakan.

Demikian juga seorang guru atau dosen yang sedang mengajar di depan kelas. Ia menyapa sebagai basa-basi, selanjutnya ia menjelaskan berbagai hal, karena ada persepsi diri, bahwa guru/dosen memiliki pengetahuan lebih, kemudian berpretensi mahasiswa atau siswa membutuhkan kita. Karena merasa dibutuhkan (atau penilaian diri sendiri kita dibutuhkan), maka kita asyik menjelaskan. Ketika asyik menjelaskan, kita senang rasanya melihat beberapa mahasiswa/siswa mengangguk-anggukkan kepala, tersenyum simpul dilanjuta menganggukkan kepala. Kita berpikir mereka suka pada penjelasan kita dan memahami apa yang kita berikan. Berbanding terbalik, bila kita melaihat mahasiswa/siswa yang menunjukkan tampang dingin, tidak bereaksi, bahkan cenderung acuh. Kita menyimpulkan, mereka tidak memmbutuhkan kita, mereka anak-anak bodoh, tidak semangat belajar, dan segepok umpatan bernada negative!

Padahal!

Siswa/mahasiswa yang tersenyum, mengangguk, menunjukkan ekspresi persetujuan itu tidak merepresentasikan ia memperoleh kejelasan, membutuhkan, dan membutuhkan informasi yang kita berikan. Tidak! Sekali lagi tidak! Apa yang siswa/mahasiswa tampilkan hanyalah sopan-santun dan penghormatan dalam berkomunikasi. Siswa/mahasiswa yang memiliki sikap permisifsering menampilkan ekspresi diri yang menyenangkan pada orang lain, sedang apakah ia jelas, paham, menerima, membuthkan adalah hal yang berbeda!

DI sisi lain, belum tentu siswa/mahasiswa yang menampilkan ekspresi cuek, biasa-biasa saja, acuh tak acuh, belum tentu ekspresi penolakan, ekspresi ketidak tahuan, tetapi kemungkinan siswa/mahasiswa ini telah memiliki informasi ini, sudah tidak membutuhkan lagi, atau memang ekspresi tidak menjadi prioritas mereka. Jadi salah jika guru menganggap siswa yang menunjukkan wajah permisif, perilaku santun, adalah cermin kebisaan mereka, sebaliknya sikap acuh ekspresi ketidakbisaan.

Jadi!

Janganlah terlalu cepat menilai seseorang, hanya dari simpulan senyum, tegur dan sapa! Kesemua itu adalah etika pergaulan bukan cermin kebisaan seorang siswa/mahasiswa. Mengapa guru/dosen tidak mencoba untuk berinteraksi tentang kebutuhan mereka! Siswa/mahasiswa sekarang berada di era informasi yang begitu meluas, jadi bika guru/dosen hanya berupaya memberikan informasi, maka sebagaian siswa/mahasiswa kita telah mengetahuinya. Mengapa kita tidak lanjut ke informasi lanjut berupa pendalaman ….. sehingga kita akan lebih cepat berjalan!

Sebaliknya!

Siswa dan mahasiswa sering terkecoh ekspresi guru/dosen. Dosen yang menunjukkan sikap permisif, lembut, penuh senyum ia anggap guru/dosen yang baik, pemurah, mudah….sebaliknya guru/dosen yang menunjukkan sikap keras tanpa kompromi, distigma guru/dosen killer. Padahal mungkin justru sebaliknya! Bukankah “Pembunuh berdarah dingin” membunuh sasarannya dengan penuh ketenangan, mencincang dengan senyumannya, memotong-motong bagian tubuh korban dengan kesenangannya.

Akhirnya

Kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya, tetapi alangkah indahnya jika kita berhasil memadukan keteguhan prinsip, profesionalitas, kesungguhan, tanggung jawab tidak dengan sikap keras, tetapi tentu bisa melalui perilaku yang bertensi lembut… sebaliknya… mereka yang berkarakter lembut dan bernuansa kebaikan tidak digunakan sebagai topeng berbuat kejahatan dalam kelembutannya!!!

Perilaku yang ditampilkan/diekspreikan individu hanyalah topeng-topeng diri. Ada yang begitu lihainya membuat topeng diri, sehingga individu lain tidak pernah mampu membuka topeng orang lain, di sisi lain ada individu yang mengalami kesusahan dalam membangun topeng bagi dirinya. Ia lebih suka menunjukkan apa adanya! Ia tidak peduli apa yang ditampilkan berdampak kurang baikbagi dirinya!!!

Ada yang berhasil membangun topeng yang indah, menarik, penuh dengan asesori sehingga mampu menarik perhatian banyak orang, sebaliknya ada individu yang kurang berjiwa seni membangun topeng diri sehingga belepotan atau bahkan tanpa hiasan sedikitpun…..

Yang terpenting…. Bagaimana kita tidak mudah terjebak dalam pemikiran yang masih bersifat persepsional, sehingga kita tidak mampu berjalan masuk ke dalam diri sendiri dan orang lain dalam jalur-jalur pertemanan yang berterima

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun