Mohon tunggu...
Gunawan S. Pati
Gunawan S. Pati Mohon Tunggu... Dosen - dosen

Penikmat buku dan pengamat pendidikan dan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korupsi dan Revolusi Mental

17 Desember 2020   22:32 Diperbarui: 17 Desember 2020   22:37 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diperlukan refleksi sekaligus evaluasi tentang tindakan korupsi yang masih banyak  di negara kita. Ini merupakan momentum yang tepat karena pada tanggal 17 Desember 2020 diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) dan pada peringatan Hakordia 2020 Presiden Joko Widodo mengingatkan pentingnya budaya antikorupsi dan perlunya program pencegahan korupsi secara terus menerus (Kompas.com,17/12/2020). 

Refleksi merujuk pada    peristiwa yang terjadi sebelumnya khususnya  beberapa  birokrat dan kepala daerah yang tertangkap tangan oleh KPK, sedangkan evaluasi digunakan untuk menilai apakah sistem yang dibangun untuk menciptakan budaya antikorupsi sudah berjalan efektif.  

Saya sebagai orang awam bingung juga mengapa orang tidak mau belajar tentang  peristiwa yang berkaitan dengan tugasnya. Menteri Sosial (Mensos), Juliari P Batubara telah ditangkap dan dilakukan penahanan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena telah melakukan tindakan pidana korupsi. 

Padahal belum genap  satu bulan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo  telah ditanggkap KPK  juga melakukan tindakan pidana korupsi. Pada umumnya begitu ada suatu peristiwa kita langsung melukan refleksi sekaligus evaluasi jangan sampai menimpa diri kita jika peristiwa tersebut bersifat negatif. 

Begitu ada penangkapan salah satu menteri oleh KPK lazimnya semua menteri berupaya jangan sampai peristiwa tersebut menimpa mereka. Padahal sebelumnya Presiden Joko Widodo telah berpesan kepada menteri-menterinya agar jangan melakukan korupsi khususunya pada masa pandemi Covid-19. 

Yang membuat kita sedih adalah bantuan sosial (bansos) yang diperuntukan bagi rakyat miskin yang betul-betul membutuhkan bantuan juga dikorupsi. Ternyata koruptor benar-benar tidak kenal kepentingan dana yang dikorupsi, bahkan beberapa tahun yang lalu dana yang akan digunakan untuk mencetak kitap suci Al Quran  saja juga dikorupsi.

Secara teori seseorang melakukan korupsi karena terpaksa atau kebutuhan (corruption by need), memaksa atau serakah (corruption by greedy) dan direkayasa dengan mengeluarkan regulasi (corruption by design). 

Korupsi yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial (Mensoso) Juliari P Batubara bisa dikatakan korupsi karena serakah, Betapa tidak serakah? Mantan menteri sosial tersebut kekayaan bersihnya mencapai Rp 47 miliar lebih dan sebelumnya pernah menduduki pimpinan beberapa perusahaan. Apa dengan harta sebanyak itu masih kurang untuk hidup? Kalau untuk hidup sederhana saja harta sebanyak itu bisa untuk hidup tujuh turunan. 

Demikian pula korupsi yang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo merupakan korupsi dengan cara mengeluarkan regulasi yang tujuannya agar ada kesempatan untuk mendapat dana besar yang bisa dikorupsi. Meskipun ketika menerbitkan regulasi tentang izin export benur alasannya untuk menolong nelayan untuk meningkatkan penghasilannya. 

Eh ternayata dibalik itu ada "udang di balik batu."  Beda dengan korupsi karena kebutuhan yang biasanya mereka melakukan korupsi karena terpaksa akibat kebutuhan hidup atau kebetulan saudaranya sakit butuh biaya pengobatan bahkan bisa juga untuk biaya pendidikan anaknya. 

Korupsi karena kebutuhan biasanya dilakukan oleh pegawai-pegawai kecil atau bendahara di instansi tertentu yang memang gajinya tidak mencukupi untuk hidup satu bulan. 

Meskipun motif korupsi berbeda-beda tetapi ketiganya merupakan tidakan yang bertentangan dengan hukum dan pelakunya harus dihukum sesuai dengan tindakannya.

Kalau kita amati sudah berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah  untuk memberantas korupsi mulai dari pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pembentukannya berdasarkan Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan memperkuat lembaga lain yang bertugas memberantas korupsi. 

Sayangnya berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah mulai dari  memberdayakan  pengawasan internal maupun memberikan hukuman makasimal kepada koroptor namun hasilnya masih jauh dari harapan. Kita masih berharap banyak terhadap program Presiden Joko Widodo yaitu revolusi mental yang sekarang masih berjalan, apakah revolusi mental mampu menciptakan nilai integritas?

Revolusi Mental

Gagasan revolusi mental mulai digaungkan oleh Presiden ke-7 republik Indonesia Joko Widodo yang bertujuan mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, berdikari dan berkepribadian. Salah satu nilai utama yang berkaitan antikorupsi adalah integritas yang artinya jujur, dapat dipercaya, berkarakter, bertanggung jawab dan konsisten. 

Dengan banyaknya pejabat, anggota DPR/DPRD dan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi menunjukkan bahwa revolusi mental selama ini hanya sekedar teori belaka tanpa dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. 

Padahal pelaku gerakan revolusi mental adalah pemerintah, swasta dan masyarakat tetapi justru yang melakukan korupsi adalah pihak pemerintah yang bekerja sama dengan swasta.

Kalau kita masuk suatu kantor pemerintah maupun swasta di dapan sudah terpasang spanduk dengan tulisan besar, antikorupsi atau antisuap tetapi kenyataannya masih saja ada oknum pegawai yang mau menerima suap. Ini artinya nilai integritas hanya sekedar dipakai sebagai pajangan belaka  mentalnya masih belum berubah. Sebetulnya pemerintah berharap mental bangsa Indonesia berubah dengan cepat. 

Oleh karena itu digunakan kata revolusi yang artinya perubahan dengan cepat, setidaknya dua kali masa jabatan Presiden Joko Widodo bangsa Indonesia sudah memiliki mental baru.

Kita masih berharap banyak revolusi mental dari sektor pendidikan yang diimplementasikan melalui pendidikan karakter di sekolah maupun di perguruan tinggi. Pendidikan karakter membekali peserta didik dengan nilai-nilai karakter meliputi olah pikir, olah rasa, olah karsa dan olah raga. 

Diharapkan lulusan dari lembaga pendidikan mampu menjadi generasi baru yang memiliki karakter yang kuat. Tidak hanya penguatan pendidikan karakter yang digalakan di lembaga pendidikan namun pengintergrasian   sikap spiritual dan sosial dalam kurikulum sekolah juga tidak kalah pentingnya. Hasil pendidikan karakter baru bisa dilihat hasilnya ketika para lulusannya terjun di masyarakat.

Semoga bermanfaat

Pati, 17 Desember 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun