Adamu hanyalah debu di telapak kakinya yang berteriak mohon belas kasihan ketika segalanya tenggelam dalam ketakberdayaan.
Kausandingkan dalam kepastikan.
Seteruku membeku, dan lihatlah istanamu dibanjiri massa dengan sorak-sorak serak yang kehilangan jati diri karena berselimut rasa tidak percaya, lalu menggantungkan kepercayaan ke lidahmu.
Adamu hanyalah debu di telapak kakinya.
Masihkah sanggupkah kausandingkan dirimu ketika sirna kekuatanmu, membujur tanpa daya, menggerogoti kebohongan yang telanjur membengkak menahun dalam hasrat memeluk gunungmu?
Adamu hanyalah debu.
Debu yang mestinya mendendangkan pax et bonum, damai dan kebaikan agar kakinya maha segala menyuburkan hidupmu.
 (Jakarta, 20/3/2019)