Mohon tunggu...
Paul Ama Tukan
Paul Ama Tukan Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa STFK Ledalero Maumere-Flores

Menulis adalah Bekerja Untuk Keabadian

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Puisi, Mengatakan Begini dengan Cara Begitu

1 Desember 2019   16:23 Diperbarui: 7 Desember 2019   17:55 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
onstellar.com by @iknowHEis

Dengan demikian. Puisi adalah menulis kebebasan dengan kebebasan.

Substansi puisi bergerak sepenuhnya pada alam imajinasi penyair. Maka seni puisi juga adalah dunia tanpa sekat yang tidak memprioritaskan rasionalitas melainkan estetika, getaran efeksi ketimbang sistematika. 

Klaim-klaim yang timbul sebagai upaya re-branding puisi membuat saya terenyuh dengan permenungan yang dalam: " seni memang harus dipahami, agar ia dapat dikecap budi alih-alih orang jatuh cinta pada puisi bukan semata-mata karena paham tetapi karena tersentuh".

Lebih jauh sebagai sebuah seni, puisi pertama-tama menggugah nuansa rasa atau iklim kepekaan terdalam seseorang untuk sejenak melihat, bukan saja dengan indra yang 'telanjang' melainkan indra yang 'melampaui' sesuatu yang mainstream-cenderung biasa. 

Artinya tendensi untuk melihat, mengamati atau mendengar sesuatu secara biasa akan kolaps berhadapan dengan bunyi puisi yang padat dengan bahasa yang 'tidak biasa'.

Semua kita dapat dikatakan penulis puisi, andaikata realitas yang muncul di hadapan kita diolah dengan racikan yang impulsive atau busana baru yang memelekkan, tidak seperti adanya realitas itu. 

Oleh karena itu, dunia yang ada di dalam puisi adalah dunia hiperrealitas, boleh jadi beberapa tingkatan di atas realitas, yang memperlihatkan ada sesuatu yang tidak biasa.

Seni memang terkadang melampaui yang biasa. Sebab rasa estetik tidak suka yang biasa bahkan rasa terkadang tak mampu dipahami logika. Yang tidak biasa kerap menjadi 'lahan' garapan para seniman. 

Puisi adalah 'yang tidak biasa'. Saya boleh berkata pada seorang gadis itu "Aku jatuh cinta padamu", setelah kembali saya mengguratkannya sebagai sebuah puisi: "Berapa kecepatan cinta dari sudut mata ke dasar hati?"

Muncul persoalan tatkala dunia hiperrealitas itu tidak semua mampu dipahami secara kolektif. Pertama, apapun puisi pasti mendapat rintangan dalam lanskap pemahaman pembaca. 

Terkadang pembaca menjadi gerah dengan keanehan puisi. Kegerahan ini melahirkan tanda Tanya yang berkepanjangan. Bagi saya, ketika puisi dapat membuat orang bertanya, ketika itu juga puisi berhasil menjadi dunia yang tidak 'biasa'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun