Mohon tunggu...
Petrus Paulus Puru
Petrus Paulus Puru Mohon Tunggu... Guru - Tukan Kota Wolo

Petrus Paulus Puru Tukan, lahir di Lewotala 04 September 1980. menyelesaikan pendidikan terakhir S2 Pendidikan Matematika di UNESA surabaya tahun 2015. kini menjadi guru di SMPS St. Antonius Padua Leworahang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pangan Lokal Kembali ke Masa Depan sebagai Upaya Peningkatan Kompetensi Pembelajaran

10 Desember 2019   21:36 Diperbarui: 10 Desember 2019   21:53 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dampak buruk yang bisa terjadi pada anak karena PJAS yang tidak aman tergantung dari beberapa faktor, yaitu faktor banyaknya jajanan yang dikonsumsi, faktor penanggulangan, dan kondisi tubuh anak. Bila semakin banyak konsumsi PJAS yang tidak aman dan semakin lama penanggulangan diberikan, serta semakin lemah kekebalan dan kondisi tubuh anak, maka semakin serius dampak buruk yang bisa dialami. Perlu diketahui bahwa anak lebih rentan terhadap keracunan pangan dibandingkan orang dewasa.

Lalu bagaimana cara yang tepat untuk mewujudkan kondisi PJAS yang aman? Untuk mewujudkan dan menjamin keamanan pangan PJAS perlu dukungan dan tindakan dari banyak pihak meliputi kepala sekolah, guru, peserta didik, penjaja/penjual makanan, dan orang tua. Seluruh pihak ini harus menjalankan perannya masing-masing dan saling mendukung satu dengan yang lain dalam menjamin keamanan pangan di sekolah.

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak buruk PJAS tidak aman, yaitu dengan dibukanya kantin sehat di sekolah. Dengan adanya kantin sehat maka seluruh proses pengolahan, dari penyiapan bahan hingga pemasakannya dapat dikontrol oleh pihak sekolah. Kemudian kegiatan pengenalan dan penyuluhan mengenai PJAS yang aman juga perlu dilakukan agar seluruh warga sekolah selalu waspada terhadap kondisi makanan yang akan dikonsumsi. 

Selain itu, kembali ke pangan local, perlu gerakkan bersama, bahkan gerakkan social. Sebuah gerakan yang mengajak berbagai pihak terlibat. Sebab pangan bukan urusan dan tanggungjawab pemerintah dan instansi terkait saja, teapi merupakan tanggungjawab bersama mulai dari petani produsen sampai kepada masyarakat konsumen.

Banyak cara bisa dilakukan untuk menyebarkan semangat konsumsi pangan local ini. Di tingkat sekolah sangat perlu membiasakan diri untuk konsumsi pangan local minimal 1 hari dalam seminggu. Untuk keluarga, menyajikan pangan local sebagai menu sehari-hari. Sedangkan untuk masyarakat menyajikan pangan local dalam setiap acara, seperti pesta pernikahan, ataupun pesta-pesta yang lain. Dengan demikian, akan semakin banyak masyarakat yang tersadarkan tentang manfaat pangan local bagi kesehatan mereka.

Indonesia melakukan benchmark internasional dengan mengikuti Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for International Student Assessment (PISA). Hasil TIMMS tahun 2015 untuk kelas IV sekolah dasar, Indonesia mendapatkan rata-rata nilai 397 dan menempati peringkat 4 terbawah dari 43 negara yang mengikuti TIMMS (Sumber: TIMMS 2015 International Database). Sekitar 75% item yang diujikan dalam TIMSS telah diajarkan di kelas IV Sekolah Dasar dan hal tersebut lebih tinggi dibanding Korea Selatan yang hanya 68%, namun kedalaman pemahamannya masih kurang. 

Dari sisi lama pembelajaran peserta didik Sekolah Dasar dan jumlah jam pelajaran matematika, Indonesia termasuk paling lama di antara negara lainnya, tetapi kualitas pembelajarannya masih perlu ditingkatkan. Sementara untuk PISA tahun 2015, Indonesia mendapatkan rata-rata nilai 403 untuk sains (peringkat ketiga dari bawah), 397 untuk membaca (peringkat terakhir), dan 386 untuk matematika (peringkat kedua dari bawah) dari 72 negara capaian secara umum masih di bawah rerata negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Hasil pengukuran capaian peserta didik berdasar UN ternyata selaras dengan capaian PISA maupun TIMSS. Hasil UN tahun 2018 menunjukkan bahwa peserta didik masih lemah dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills) seperti menalar, menganalisa, dan mengevaluasi. Oleh karena itu peserta didik harus dibiasakan dengan soal-soal dan pembelajaran yang berorientasi kepada keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills) agar terdorong kemampuan berpikir kritisnya.

Berbagai upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang bermuara pada peningkatan kualitas peserta didik. Tidak hanya menyelenggarakan Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) melalui Peningkatan Kompetensi Pembelajaran (PKP) di kelas tetapi bisa juga factor lain seperti penanganan masalah asupan gizi peserta didik yang sangat mempengaruhi perkembangan otak peserta didik dalam belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun