Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kasihan Pak Menteri Amran Ngurusi Sambel, Kapan Revolusi Mental dan Swasembada Beras?

28 Mei 2016   10:06 Diperbarui: 28 Mei 2016   10:30 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Paling kerja keras di saat-saat ini adalah mentan, menteri pertanian, karena menjelang bulan Puasa, harga yang dipatok presiden turun eh malah sudah nggendring menaik dengan laju yang luar biasa dan seperti jet saja. Kasihannya stok melimpah, eh ada keinginan koleganya yang maunya import dengan berbagai dalih. Ribet ketika apa yang faktual itu berhadapan dengan pola pikir politis dan ekonomis (dalam arti keuntungan sendiri dan kelompok bukan bagi negara dan rakyat). Malah ribet soal sambel, lha hanya berkutat dengan bawang dan urusan domestik yang tidak mengacu pada hajat hidup lho, cuma kesenangan lidah, yang akan berujung pada jamban.

Di Jawa Tengah bertebaran papan-papan iklan layanan masyarakat soal keluarga bahagia dengan menyajikan keluarga kecil Gubernur Ganjar bersama-sama di dapur. Jadi ya pantas kalau harga kebutuhan dapur menjadi tinggi. Di sana dikatakan bahagia itu sederhana, kembali ke rumah, secara garis besar demikian. Masak dan makan menjadi tali memperat keluarga.

Mengapa heboh untuk hal yang tidak fundamental, dalam arti hanya untuk pelengkap, tidak ada itu, tidak akan mati. Mana ada laporan orang mati kekurangan bawang merah, lombok, atau daging sekalipun. Kita ini telah menjadi negara gagap karena pemberitaan media yang tidak bijak. Pemberitaan di daerah X harga komoditi ini naik, ikut, padahal tidak tahu sama sekali alasan di sana naik.  Seolah kalau tidak ikut berarti ketinggalan zaman, belum lagi media sosial yang biasanya sepotong-sepotong, tidak ada medsos itu menyeluruh.

Katanya mafia demi mafia yang hidup, jika demikian gampang, boikot tidak usah membeli apa yang mereka sediakan. Pasti tidak akan berani. Padahal tidak makan dengan lombok juga tidak sakit kog. Apa yang bisa dilakukan? Bisa menanam sendiri, asal ada kemauan. Alasan lahan tidak berdasar, karena bisa dalam botol bekas, peralon bisa, pot, di lahan sangat sempit lombok ini bisa. Jika satu keluarga punya lima pohon saja, cukup untuk konsumsi sendiri. Semua terpenuhi sendiri, mafia akan gigit jari. Akan dijawab dengan propaganda macam-macam, dan lebih dipercaya. Bagaimana kita boros lombok dan bawang merah. Kita beli pecel lele, berapa banyak sambel yang disiapkan oleh penjual, dan berapa banyak yang kita konsumsi. Penyuka pedas saja yang akan menghabiskan itu, namun berapa banyak yang terbuang? Sikap sederhana itu masih jauh dari sikap harian kita. Lebih banyak sambel terbuang. Gerakan hemat sambel ini jauh lebih mendesak karena pola hidup boros kita. Kalau orang tidak makan lombol, bawang, dan sejenisnya memangnya kita kolaps, lemes, dan mati gaya? Sama sekali tidak. Kita sudah dipengaruhi oleh iklan yang memang dibuat oleh kapitalis untuk keuntungan mereka. Kita tersugesti kalau lombok mahal kita akan kesulitan, sama sekali tidak.

Daging, kita ini bukan macan, kalau tidak makan daging menjadi loyo, lesu, tidak bisa berdaya. Mengapa sampai harus mentan pusing ngurusi harga daging coba? Banyak kerjaan menteri, bukan hanya ini. tidak ada daging ada ikan. Program Bu Susi bisa berjalan lancar kalau pola pikir daging ini bisa berubah. Memangnya sakit kalau tidak makan daging? Nyatanya itu vegetarian malah sehat, banyak daging itu bisa macam-macam penyakit datang. Jika bisa mengaplikasikan model hidup berimbang, mafia daging akan kejang-kejang karena permainan harga mereka tidak bisa dilakukan.

Mengapa begitu mudah terjadi kegalauan soal harga?

Mudah panik, mendengar ada kenaikan, langsung ada yang memborong. Model ini yang dimanfaatkan para spekulan. Belum tentu yang dibeli itu penting dan mendesak, hanya karena mendengar ada kenaikan dan ada yang beli, ikut. Tidak heran mudah sekali dikelabuhi, model yang sama maka bisa dikadalin Belanda sekian lama.

Pedagang dan pengusaha lemah etika. Sepakat dan memang harus bahwa pedagang itu untung, namun kan bisa tidak terlalu besar, wajar lah. Jelas tidak ada yang mau dagang kog rugi, namun tentu ingat ada unsur hidup bersama bukan?

Pengaruh media yang masih tanpa tahu alasan mengenai sebuah berita atau peristiwa. Berita yang seperti tidak terkontrol bisa semau-maunya, diserap dengan serampangan, dan akibatnya ya panik. Belum tentu bahwa di kota X itu naik, di kota Y harus juga naik. Kontrol media bukan berarti membelenggu seperti masa lalu lho.

Bisa memilah dan memilih, mana yang penting dan mendesak, mana yang tidak. Kalau beras atau bahan pokok bolehlah heboh. Sepanjang itu ada pengganti, mengapa heboh? Lombok itu hanya untuk mulut dan lidah, bukan untuk nutrisi dan kebutuhan mendasar badan. Daging bisa digantikan ikan kog, mengapa harus sampai galau soal daging? Memangnya setiap saat harus makan daging? Tidak bukan?

Pak Mentan masih pusing soal swasemba beras, eh malah harus pusing tujuh keliling hanya soal sambel. Pola kerja dan birokrasi kementrian ini juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bagaimana Penyuluh malah kalah pinter dengan petani karena tidak pernah up date ilmu. Bagaimana sawah malah mnjadi mall, jalan tol, gudang, perumahan, atau pabrik, itu jauh lebih mendesak dan urgen daripada sambel. Memangnya pusing kalau tidak makan sambel?

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun