Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Fast Furious 8 dan Raksasa Hollywood yang Tidak Pernah Lirik Indonesia

18 April 2017   21:32 Diperbarui: 18 April 2017   21:34 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menyaksikan antrian film besar Hollywood sungguh mencengangkan, dulu, Batman vs Superman, Mission Imposible, dan kini FF 8, luar biasa, bahkan bisa dipesan jauh hari sebelumnya. Kursi selalu penuh jika film itu memang telah memiliki nama.

Sayangnya, nama Indonesia, atau misalnya kota, atau pulau Bali yang sudah begitu kesohor, masih sangat jarang dipakai untuk sekedar disebut, apalagi menjadi lokasi. Pemain pun masih kalah dengan Malaysia, apalagi China, baru patut berbangga pada Joe Taslim dan Iko Uwais, kelihatannya masih jauh untuk menjadi pemain utama seperti Gong Li, Jacky Chan, dan lainnya.

Tidak mungkin sebagai produk industri modern tidak tahu betapa besar pangsa pasar Indonesia, berasal darimana penonton yang membeli film mereka. Tentu Indonesia memberikan kontribusi besar untuk itu.

Mengapa seolah Indonesia ini tidak ramah investasi, sekedar untuk lokasi saja, disebut saja sangat jarang. Beberapa hal berikut mungkin bisa menjawab.

Pertama, hukum atau peraturan yang tidak jelas. Hal ini tentu tidak disukai oleh industri maju yang sudah memegang aturan seperti kitab suci mereka. Sangat malas dengan adanya peraturan yang berbelit, bisa berubah-ubah, dan seenaknya sendiri.

Kedua, tidak ramah atas perbedaan. Bagaimana mau membuat film di sini, kalau akan digeruduk dengan dalih tidak sesuai dengan adat timur, ingat Miss Worlddi Bali saja hebohnya minta ampun,tentu enggan produksi harus terganggu hal yang  tidak menguntungkan begini.

Ketiga, campur aduk apapun selalu dikaitkan dengan agama dan biasanya dikemas atas nama budaya timur. Bagaimana film lokal pun tidak bisa tayang dengan leluasa karena ada pihak yang berbeda, seperti “?”, Soegija, film asing seperti Noah, Son of God. Film adalah film bukan apa-apa, mengapa selalu saja seolah paranoid dengan isu-isu menggoyahkan iman dan kepercayaan? Lihat saja FF di Dubai saja pakai bikini gak soal, coba ambil gambar di sini, pasti heboh tujuh turunan.

Keempat, produsen film Indonesia sendiri malah tidak bangga dan menjual pesona Indonesia. Memang sudah banyak menjual tempat-tempat wisata, keindahan alam Indonesia, namun seolah khawatir dan lebih pede dengan lokasi luar.

Kelima, surga pembajak. Bagaimana tidak mulai dari lagu, film, pesawat, sawah (eh ini bener ya), uang bisa dibajak ya di Indonesia. Bisa saja mereka enggan karena selain untung mereka juga rugi di sisi lain.

Sebenarnya bisa menawarkan tempat yang layak jual seperti Bali Raja Ampat, Lombok, Jawa Tengah dan sebagainya, ekonomi kreatif sebenarnya bisa menggarap hal ini, namun perlu kerja keras untuk menyadarkan orang sok moralis agar tidak lompat pagar.

Investasi tentu perlu jaminan lancar dan aman, bukan sebaliknya, demo yang sering tidak berdasar bisa membuat mereka hengkang dan enggan. Pemerintah hal ini yang memiliki peran sangat besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun