Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cara Polisi Redam Amukan Kader HMI: Nasi Bungkus!

23 November 2015   13:10 Diperbarui: 23 November 2015   13:23 1471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membaca berita dari Tempo.Co miris, bagaimana mahasiswa harus seperti ini. Artikel ini bukan hendak mendeskriditkan agama, atau organisasi agama, sama sekali tidak, namun momentum yang ada, justru yang hendak saya tampilkan adalah wajah mahasiswa, pemimpin masa depan, bukan pemimpi masa depan atau peminum masa depan.

Berita tersebut adalah kisah mengenai kongres HMI di Riau yang riuh rendah dengan berbagai hal. Soal anggaran dari APBD yang hampir tiga kali lipat dari dana untuk menanggulangi bencana kabut asap, kerusuhan yang terjadi menjelang kongres, dan ini bukan kali pertama. Kesiapan panitia atau kemampuan yang dipertanyakan kader daerah sama sekali bukan hal ini. Mengapa demikian? Hal ini juga terjadi di kongres sebelumnya dan itu ada di Jakarta.

Kisah yang miris ini  merupakan gambaran masa depan pemimpin negeri ini, yang telah meniti karir berorganisasi yang banyak melakukan kekerasan dan jalan pintas dalam keinginan mencapai sesuatu. Tidak heran para sesepuh turun tangan dan merasa kecewa dengan apa yang terjadi. Mulai wapres yang membuka kongres, hingga mantan Ketua DPR menyesalkan keadaan ini.

Pragmatisme mengemuka dan menggejala.

Organisasi merupakan sarana belajar banyak hal, kepemimpinan, managemen, bahkan kekuasaan, politik praktis dan teoritis seiring sejalan, dan yang jauh lebih utama adalah belajar hidup. sepakat tidak semua peserta apalagi anggota yang terlibat di dalam kejadian ini. Sebagian kecil melakukan tindakan pragmatisme, menurut panitia, mahasiswa yang terlibat kerusuhan itu bukan peserta, namun anggota yang pengin ikut (bahasa saya), penggembira saja. Wajar kalau mereka tidak mendapatkan tempat dan akomodasi. Keberangkatan mereka pun telah menggunakan kekuatan dan kekerasan dengan memaksa naik kapal PELNI secara gratis. Bisa dilihat bahwa sejak awal mereka telah berbuat yang tidak baik, apa beda bonek dengan mereka kalau begini ini?

Memaksakan kehendak.

Saya yakin panitia tentu telah menentukan siapa saja yang hadir itu, diinapkan di mana, transportasi seperti apa dan detail itu pasti mudah dilakukan. Kedatangan penggembira yang memaksakan kehendak ini sejatinya hanya ingin hura-hura dan menjadi huru hara. Tugas mereka adalah kuliah dan tambahan berorganisasi, ketika organisasi memang tidak mengutus mereka mengapa harus meninggalkan kuliah?

Instingtif

Apa yang menjadi tuntutan mereka itu kepenuhan instingtif semata, makan, akomodasi, penginapan, sangat-sangat instingtif, manusia itu berakal budi, tentu bisa menggunakan akalnya untuk memenuhi hal mendasar ini. Mengapa menjadi huru hara hanya gara-gara urusan perut. Dan sejatinya mereka harus malu dengan tindakan polisi memberi mereka makan dan “jinak” ini.

Masa Depan Negara di tangan mereka

Salah satu tokoh, yang dianggap kiri, mengisahkan bagaimana mereka berangkat ke Kolombo, India untuk ikut dalam kongres pemuda pada masa awal-awal kemerdekaan, mereka duduk di terpal di bawah tenda dari terpal juga, ruang kongres dan diskusi juga merupakan tempat mereka tidur ketika telah lelah. Kita bisa membandingkan kondisi ini, jauh berbeda tentunya dengan kongres di zaman maju ini. Memang zaman telah berubah namun semangat untuk berkorban dan mengedepankan otak daripada otot tentu lebih bernilai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun