Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Kisah HMI vs Saut: antara Isi dan Pribadi, Reaktif dan Proaktif

11 Mei 2016   09:02 Diperbarui: 11 Mei 2016   09:12 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belajar dari Kisah HMI vs Saut: antara Isi dan Pribadi, Reaktif dan Proaktif

Menyaksikan perseteruan yang seharusnya tidak perlu, namun terjadi dan berlebihan yang sangat merugikan. Kedua belah pihak berkontribusi terjadinya peristiwa tersebut. Berseliweran kisah dan opini baik membela satu dan menkritik satunya dan sebaliknya. Ini sangat wajar.

Isi dan Pribadi,menarik adalah setelah membaca berbagai artikel ataupun berita mengenai kasus ini, ternyata bukan soal isi,yang malah menjadi heboh, namun siapa yang mengatakan. Jadi ingat beberapa kali komentar di artikel saya sendiri, karena dicap oleh pembaca sebagai pendukung Jokowi-Ahok, menulis apapun akan dikomentari soal dua pribadi itu. Ternyata memang lebih mudah memahami bungkus yang belum tentu sesuai dengan isinya. Tidak heran pula judul bombastis miskin makna pembaca begitu gegap gempita. Ini identik dan menjadi gejala umum ternyata. Isi tidak lagi menjadi substansi, namun siapa yang berbicara. Telah berkali-kali kog HMI dikritik namun diam saja, namun ketika itu adalah pihak “luar”, ini bisa macam-macam siap yang dinilai luar ini akan berlimpah-limpah reaksi. Jika bukan Saut S yang bicara, hal ini tidak akan jadi heboh kog, saya yakin.

Jika demikian, mosok mahasiswa kog menilai buku dari sampulnya? Ironis kembali pendidikan yang tidak membawa pribadi memahami isi namun hanya menghapal dan mengambil judul langsung selesai. Tidak heran banyak pribadi gagap, kagetan, gumunan, dan reaktif. Malu setelah tahu isi dengan merenungkan dan mengevaluasi.

Reaktif dan Proaktif.Jadi ingat dalam salah satu matkul untuk persiapan mengajar ada pelatihan kecil jawaban proaktif atau reaktif. Bagi peserta didik sangat penting sehingga pendekatan adalah personal pada kebutuhan peserta didik, bukan konsep sang guru selaku fasilitator. Mengapa demikian, yang ada di dalam permukaan dari murid itu fenomena gunung es kepribadian peserta didik. Orang yang reaktif, bisa dalam bentuk diam seribu bahasa lho, jangan diterjemahkan reaktif itu membalas dengan cepat, dan berlebihan, itu bentuk lain. Reaktif pasif, membeku, diam, duduk, namun hatinya sangat bergolak. Guru yang menjawab dengan reaktif atas reaksi tentu akan menjadi bencana. Reaktif itu tidak sempat ada peresapan hanya menjawab respons yang ada. Pikiran, hati, dan tindakan, spontan, padahal, ada hati yang perlu mencerna apa yang dirasakan, otak untuk mengevaluasi apa yang ada dari aksi yang diterima.

Mengapa demikian?Pertama,  kurang mengolah ranah rasa, selain otak dan kognisi semata. Emosi, perasaan, hati, sering dinilai dengan sebelah mata, sehingga dinilai sebagai bukan intelek, tidak jantan, dan itu streotipe yang sangat kental dalam budaya kia. Kedua, budaya instan, cepat itu baik dan menguntungkan. Reaksi atas respons jadi yang penting adalah cepat, sering lepas kendali. Tidak memberikan kesempatan kepada otak dan hati untuk mengadakan evaluasi. Yang pentig aksi, soal benar salah bisa dipikirkan belakangan. Ketiga, tidak memberikan kesempatan kepada ranah rasadan kritis dalam aspek pendidikan. Contoh, soal ujian itu banyak dan waktu sedikit, ini untuk megurangi waktu kerjasama namun bukan soal banyaknya waktu, soal mental tidak jujur. Menjawab dengan cepat masalah benar dan salah pun hanya soal kebetulan, yang penting jawab dulu, ini terbawa ke dunia nyata. Beda kalau anak diberi kesempatan eksploratif dengan soal uraian misalnya. Keempat, budaya yang banyak sama dengan benar dan menang. Ini hampir di semua lini kehidupan berbangsa. Banyak sama dengan benar dan menang, bukannya kebenaran adalah kebenaran itu sendiri. Tidak heran ketika yang mengatakan kebenaran itu adalah yang kecil dilindas agar kebenaran itu tidak nampak. Kelima, jati diri yang lemah, sehingga sikap egoisme, atau egonya sangat menggelegak untuk mendapatkan pengakuan. Kekuasaan dan materi adalah pemenuhan ego itu, dan itu tujuan, ketika ada penghambat ke sana, jangan heran akan disikat. Kelima, mendengar dan mendengarkan,kita bisa melakukan banyak hal, namun pasti akan lemah dalam hasil. Mendengarkan melibatkan emosi, hati, otak, dan sikap seluruh diri. Dengan demikian, tentu ada waktu untuk menimbang, merefleksikan, dan baru bereaksi. Mendengar hanya kuping dan langsung mereaksi.

Isi bukan yang utama,maka tidak heran negara ini sangat bebal, tidak mau dengar dari orang antah barantah, karena bukan isinya, namun soal siapa yang berbicara. Persoalan menjadi berkepanjangan ketika musang berbulu dombalebih diyakini kebenarannya daripada domba yang domba karena tidak punya nama dan tidak bisa mengemas dengan menarik. isi substansial lepas karena orang menilai siapa yang bicara, bukan isi yang dibicarakan. Jangan harap ada perubahan dari orang biasa, jika demikian. mudah ditipu, jelas sebagaimana masa lampau kita dininabobokan dengan bahsa indah,namun kamufalse dari kejahatan yang mahajahat.

Apa yang bisa dilakukan. Refleksi dan mengadakan evaluasi. Jarang ada bagian utama dalam hidup ini, karena orang tidak lagi menghargai proses namun soal hasil saja. Pendidikan yang berimbang soal rasa yang perllu dikembangkan. Seni budaya bukan soal pengetahuan saja. Kehendak baik dan kerja keras seluruh anak bangsa tentunya. Dengan demikian bisa mengurangi salah paham, reaktif, dan mengedepankan otot daripada otak.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun