Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antasari Azhar, Sarana PDI-P Mengejar Manuver Golkar untuk 2019

1 Februari 2017   06:12 Diperbarui: 1 Februari 2017   07:20 1453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Antasari Azhar, Sarana PDI-P Mengejar Ketertinggalan Manuver Golkar untuk 2019

Pemilu 2019 dan pilpresnya masih lebih dari dua tahun. Gerak cepat parpol sudah dimulai jauh-jauh hari. Ada yang masih ancang-ancang, namun sudah pula ada yang melesat cepat. Golkar yang suka atau tidak, mengakui atau tidak, belum punya calon potensi dengan melihat ketumnya juga dalam belitan kasus, dengan cepat menyambar calon potensial dan terkuat presiden, Jokowi dengan segera dicalonkannya. Diikuti mendukung Ahok dengan jalur yang dipilih, wakil diserahkan kepada Ahok, dan kemudian bersama partai nasionalis lainnya mengusung Ahok-Jarot untuk DKI 2017.

Golkar dengan Setnov.

Golkar tetap tidak punya nama yang menjual selevel dengan Jokowi dan Prabowo. Ical periode lalu menjual diri dengan berbagai cara, media elektroniknya sangat gencar pun gagal membawanya ke bakal calon, apalagi calon, dan akhirnya bergabung dan kalah dalam pilpres. Peralihan kepemimpinan Golkar dan didahului dengan gonjang-ganjing kepengurusan dan pengurusnya terutama ketumnya berkasus dengan presiden yang memiliki keterpilihan paling tinggi, tiba-tiba tanpa ba bi bu menyatakan mengusung Jokowi untuk pilpres 2019. Gerak licin Setnov tidak berhenti di sana saja, kemudian menyatakan sokongan untuk Ahok secara penuh dengan segala pilihan Ahok, independen kala itu, pilih wakil diserahkan kepada Ahok, dan menunggu bahkan merayu PDI-P dan Mega. Manuvernya tidak berhenti di sana, ia ambil alih lagi ketua dewan. Setnov jadi anak manis di depan pemerintah dalam hal ini Jokowi. Penugasan dua sumber “kericuhan” di dalam gonjang ganjing demo Ahok 212, sukses dengan gilang gemilang, dan pemerintah bisa menyelesaikan dengan baik. Kinerja pemerintah tidak pernah lagi terdengar “direcoki” kubu sebelah. Cenderung kubu kura-kura bisa bekerja sama dengan baik dengan pemerintah, tidak lagi gencar soal koalisi dan oposisi lagi. Setnov bisa membawa perubahan yang sangat signifikan, dan dia pun tahu persis bahwa tidak akan mampu bersaing di level elit, baik suara, keterpilihan, dan jelas catatan pribadinya yang bertubi-tubi dengan masalah.

PDI-P Selaku “Pemilik” Jokowi

Pemilik suara terbesar, namun berkali ulang kalah cerdik dan lincah oleh Golkar. Sejak reformasi, selalu saja PDI-P ini dipecundangi oleh kelihaian dan tidak jarang kelicikan Golkar. Apa yang ditampilkan Setnov bisa membuat “aset” terbesarnya bisa berbahaya. Merasa kehilangan banyak langkah, soal Ahok dengan pencalonannya pun meskipun telah menurunkan Bu Mega untuk mengantar ke KPU-D, tetap langah strategis untuk pileg dan pilpres 2019 kalah jauh. Upaya mengaet orang besar di daerah, seperti Ridwan Kamil yang “bukan” kadernya tentu belum cukup, sedang memegang Jokowi juga tidak semudah yang dipikirkan. Lihat saja betapa sulitnya PDI-P memaksakan pilihannya untuk bisa berjalan mulus di tangan presiden, soal BG, soal menteri, dan banyak lagi. Angin segar mulai berhembus, ketika Antasari Azhar mendapatkan pembebasan bersyarat, dan kemudian mendapatkan grasi. Datang pada debat pilkada DKI 2017 dan duduk bersama sekjend PDI-P. Meski Antasari tidak sebesar Jokowi, toh bisa memiliki banyak pilihan dan kekuatan untuk bisa membendung Golkar yang bisa dinilai akan “mengambil” Jokowi.

Antasari, meskipun tahanan kriminal, toh di mata masyarakat lebih cenderung tahanan politis bukan soal pembunuhan namun soal penguasa kala itu. Pendekatan yang diambil dua petinggi negeri bertolak belakang dalam dua peristiwa  yang  menyangkut Antasari, pertama soal izin mendampingi resepsi pernikahan puterinya, era lalu ditolak hanya ijab qabul, dan resepsi tidak boleh, pemerintahan kini kedua acara tersebut diperbolehkan. Kedua, soal grasi diterima presiden sekarang dan ditolak oleh presiden sebelumnya. Artinya, bahwa kedekatan personal dan “hutang” lebih cenderung kepada pemerintah sekarang. Demokrat jelas semakin jauh untuk bisa berdekat-dekat dengan PDI-P. Bagaimana tidak kala soal Antasari lebih beraroma Demokrat yang bermain dan tentu tidak akan mau dekat dengan yang akrab dengan Antasari dan sebaliknya.

Memang tidak akan bisa dengan serta merta membuktikan siapa pelaku “konspirasi” yang membuat Antasari terpenjara, meskipun ia menjawab ciutan SBY dengan bantu saya saja, daripaada cuitan macam-macam, toh kegelapan itu tidak dengan begitu saja terang. Paling tidak separasi PDI-P-Demokrat makin luas. Persoalan di DKI terbawa ke nasional juga.

Kolaborasi Golkar-PDI-P di 2019

Belum pernah terjadi secara skala nasional, selain Golkar yang main dua kaki berkali-kali, namun untuk periode mendatang sangat strategis. Di mana Golkar sudah terbelenggu dengan perbuatan ketumnya yang tidak dengan mudah diselesaikan oleh pengurus Golkar sendiri. Petinggi dan sesepuh Golkar di pribadi Luhut toh menjadi orang kuat di sisi presiden. PDI-P sendiri juga tidak memiliki calon yang sekaliber Jokowi dan Prabowo. Jelas Gerindra dan konco-konconya tetap akan membawa Prabowo. Tanu di sisi lain yang gencar bermain dengan medianya toh tidak akan sebesar yang dibayangkan Tanud an Perindonya. Tidak beda jauh dengan Ical di masa lalu. Paling tidak kekuatan PDI-P lebih besar dan lebih mudah dengan keberadaan Golkar di sisinya. Bandingkan era dulu, hanya dengan partai nasionalis kecil, dan PKB saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun