Di Balik Pertandingan Timnas Versus Jepang
Hasil pertandingan sudah tidak mengagetkan lagi. Ada yang mengatakan bak langit dan bumi dengan peringkat FIFA di angka dua dan tiga digit. Sejarahnya pun demikian. Pembangunan tim naturalisasi toh belum cukup membantu jika melawan Jepang. Okelah melawan Arab Saudi dan China sebagai bukti keampuhan program itu.
Menarik apa yang menjadi perbincangan di berbagai media percakapan dan media social. Bagaimana perlakukan pemerintah, baca presiden yang memberikan jam mewah dan jamuan makan bersama. Memberikan reward, apresiasi itu baik, bagus, penting, dan memang sudah layak dan sepantasnya. Perlu diingat, jangan sampai bahwa ada pihak-pihak lain yang tidak mendapatkan yang sama, kemudian nglokro.
Perhatian yang Timpang
Beberapa tanggapan terlontar atas aksi presiden itu. Mantan atlet wushu yang memberikan kebanggaan dengan emas Asian Games mengatakan pemerintah tidak adil. Ini pasti bukan sebuah ungkapan iri atau cemburu. Factual memang demikian. Netizen yang menilai iri itu perlu tahu dan ada di pihak si penyuara.
Pun pernah ada sekelompok supporter pemain voli yang   bermain pro di liga Korea menyambut dalam sunyi kepulangannya. Mereka mengeluhkan pemerintah atau federasi yang tidak melakukan apapun. Ini wajar, jauh sebelum kisah rolex tentu saja. Perlakukan yang berbeda.
Bidang catur juga memberikan sumbangan kisah, ketika salah satu atletnya berjuang hingga peringkat Sembilan (9) dunia dengan dana sendiri. Bisa dibandingkan tentu saja dengan keberadaan timnas yang jauhhhhhhh banget dari peringkat single digit seperti ini. Masih tiga lho. Benar, tidak appel to apple, namun memberikan Gambaran sepak bola itu belum apa-apa dengan capaian. Apalagi jika bicara mengenai anggaran yang digelontorkan.
Cabang olah raga lain ada dikisaran 30 M berbeda dengan sepak bola yang mencapai 200 M. Jangan bicara mereka tontonan rakyat, namun bagaimana prestasilah yang harusnya menjadi ukuran pembeayaan dan apresiasi. Miris kan, jika karena kesenangan kemudian dibeayai banyak, meskipun zonk, dan yang berprestasi malah harus mengais-kais sendiri? Di mana negara hadir jika demikian itu?
Identik dengan Politik
Ada rekan yang mengatakan, ketika merespon mengapa Irene Iskandar harus bayar mahal untuk meningkatkan peringkatnya, karena penduduk Indonesia tidak nonton catur. Memang benar, nah, ini menarik. Bola yang sangat banyak pecintanya, judinya juga, televisi juga, namun nirprestasi, gelontoran anggaran dan dana melimpah.