Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dedi Mulyadi: Hapus PR agar Bisa Membantu Orang Tua, Beneran?

5 Juni 2025   13:51 Diperbarui: 5 Juni 2025   13:51 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak Mengerjakan Pekerjaan Rumah:Istockphoto.com

Dedi Mulyadi: Hapus PR, agar Bisa Membantu Orang Tua, Beneran?


Pendidikan bukan tahu bulat digoreng dadakan 500an


Gubernur Jawa Barat Kembali membuat gebrakan, mau menghilangkan PR siswa agar bisa membantu orang tua di rumah. Apakah benar demikian? Presiden Prabowo mengatakan, banyak pelajar sekarang tidak bisa berhitung, maka sejak TK akan diberikan materi matematika. Pendidikan itu yang dibina manusia, bukan mesin, seolah dunia pendidikan hanya dijadikan proyek coba-coba.
Ikut sana, ikut sini, di sana tidak PR, di sini anaknya begini begitu. Semua Kawasan, negara, memiliki kekhasan, apalagi Indonesia yang demikian besar. Jumlah pulau sampai 17 ribu lebih, pasti ada perbedaan di sana sini.
Finlandia keren, Pendidikan terbaik, Jepang menghasilkan teknokrat dan iptek sangat maju, Korea Selatan menghasilkan pekerja keras dan tekonologi informasi luar biasa, pendidikannya begini dan begitu, autotiru, tanpa tahu dengan baik mengapa dan ada apa.
Refleksi dan evaluasi pasti ada. Finlandia dulu banyak membuat pelajar frustasi dan bunuh diri, maka oreinetasi pendidikannya diubah. Pasti tidak gegabah,  hasilnya seperti sekarang ini. Pastinya tidak hanya longak-longok lihat tempat atau negara lain.
Dunia Barat sekarang kembali menggunakan   buku dan pena, tidak lagi mengandalkan laptop atau berbasis digital lagi. Pasti mereka sudah mengadakan kajian dan hasilnya diputuskan kembali ke  pola lama. Membaca kertas cetak, menulis dengan tangan, dan berdiskusi sambil berinteraksi.
Keluhan orang tua sekarang ini bukan karena banyaknya pekerjaan rumah atau PR, namun anak terlalu banyak main smartphone, atau gadget mereka. Imbas pandemi yang pembelajaran online, keterusan, sekarang susah untuk lepas dari gawai mereka. Boro-boro diminta membantu, dipanggil saja sudah susah. Masalahnya ada pada penggunaan gadget, bukan banyaknya PR.
Manfaat PR
Saya sendiri, dulu, berpuluh tahun lalu lebih bagus nilai pelajaran yang   banyak PR-nya. Mengapa? Ya karena belajar itu mengerjakan PR, tidak mengulang pelajaran dan persiapan materi untuk pertemuan esok harinya. Ini adalah kesadaran, dan belum sepenuhnya dihayati oleh pelajar secara umum. Pasti satu atau dua anak demikian, sudah paham kebutuhannya. Artinya, PR itu membantu untuk anak bisa mempersiapkan pelajaran dan juga   mengulang materi yang sudah diterima.
Rangking PISA dan keprihatinan Presiden Prabowo bisa terjembatani dengan adanya PR. Sering menemukan siswa sekarang kacau mengenai kosa kata dan hitung-hitungan sederhana. Bagaimana bisa membuat anak paham kata dan angka hitung-hitungan jika tidak dengan PR? Belum lagi jika bicara pengetahuan umum, negara di Eropa, Asia, atau pulau di Indonesia saja bingung. Itu persoalan pendidikan lho.
Sikap tanggung jawab
Melatih tanggung jawab, jangan bayangkan anak sekarang ini sama dengan generasi yang lalu-lalu. Sekadar PR sangat mungkin abai, satu kelas yang mengerjakan separo saja sudah bagus. Hal-hal yang lebih besar dan mendesak bagaimana mau dibangun, jika sesuatu yang sederhana seperti ini saja tidak dilakukan?
Menyelesaikan tugas, salah satunya adalah PR. Jangan harap mau membantu orang tua, lha membantu dirinya sendiri saja enggan kog. Ini persoalan serius. Jangan heran kalau kemampuan literasi dan numerik anak negeri ini sangat rendah.
Cek saja di jalan-jalan masih banyak berkeliaran anak dengan seragam, padahal sudah pukul 7, atau 6.55, padahal sekolah masih cukup jauh. Toh tidak merasa bahwa akan terlambat. Jalan biasa, tidak tergesa-gesa atau bergegas dan menambah kecepatan jalannya. Kedisiplinan dan tanggung jawab rendah.
Pengalaman langsung mendengar anak didik yang mengatakan bua tapa belajar, wong pasti naik kelas. Lagi-lagi ini sikap tanggung jawab yang lepas dari dunia Pendidikan. Harusnya mengasah itu malah dibiarkan begitu saja. Naik kelas dan tinggal kelas itu wajar, bukan harus naik.
Kesadaran dan kedewasaan
Tanpa PR itu baik, bagi yang sudah sadar dan dewasa. Lha kalau penjumlahan -9 -- 3 saja enam, atau 15:15= 0 sekelas anak sekolah menengah atas, ini mau tanpa PR? Mau jadi apa dengan masa depan negeri ini.  Suka atau tidak, sekolah di Indonesia kebanyakan masih beroreintasi pada nilai bukan pada kemampuan. Makanya les ini dan itu, lebih menitikberatkan pada pengetahuan, bukan pengamalan. Nah PR adalah salah satu sarana membuat pelajaran sebagai pengalaman.  
Jangan sampai pendekatan tidak naik kelas sebagai sebuah kebijakan yang membuat guru kelimpungan. Meniadakan PR ini juga akan mempersulit guru dalam menanamkan materi dalam otak peserta didik.
Masalah Pendidikan yang lebih  mendasar itu banyak. Misalnya mengenai disiplin. Salah satunya dibarakkan kemarin sebagai salah satu alternatif penyelesaian. Namun masih banyak, yang belum masuk kategori nakal.
Pungutan yang tidak jelas. Murid dan orang tua mengeluh, toh masih saja jalan. Kadang pungutan itu tidak mutu sama sekali, memotong uang jajan, yang dinilai tidak banyak, padahal ada juga siswa yang tidak ada uang jajan yang lebih. Pengalaman     langsung ini, murid mengeluhkannya.
Lomba-lomba yang kadang tidak menunjang pendidikan. Namun dilakukan demi mendapatkan piala dan sertifikat, dan sekolah memiliki nama. Potensi mendapatkan siswa lebih banyak. Perlu mengembalikan warwah sekolah sebagai lembaga pendidikan, lepas dari kepentingan lain.
Ideologi dan politik yang mewarnai secara keliru dalam dunia pendidikan.  Hal yang seolah belum disadari, dimengerti, dan dipahami banyak pihak. Pendidikan yang memisahkan, melihat liyan, other sebagai musuh, perlu dibenahi. Silakan cek jika tidak percaya, mengikis nasionalisme juga lho.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun