Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menghajar Ganjar, PDI-P Terkapar

29 Mei 2021   14:33 Diperbarui: 29 Mei 2021   14:44 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menghajar Ganjar, PDI-P Terkapar

Menarik, apa yang menjadi kajian pengamat, netizen, ataupun media. Mau media sosial atau arus utama, sama saja. Satu tema, mengenai Ganjar yang tidak diundang dalam pertemuan internal partai.  Menjadi panas karena ini soal pilpres 2024.

Suka atau tidak, ini adalah permainan. Hanya sebuah guyon di atas panggung politik. Jadi, semua itu biasa terjadi, dan jangan dianggap matematis, atau hanya kalau tidak hitam ya putih. Padahal namanya politik, segala kemungkinan itu bisa terjadi.

Nah, ini menariknya. Begitu ada indikasi PDI-P membuang Ganjar, sebagaimana pernyataan Bambang Pacul yang mengatakan Ganjar keminter,  kalau dipinang partai lain silakan angkat kaki, atau pemimpin itu di lapangan, bukan di medsos. Radar partai politik, kebetulan minim calon langsung berdengiing dan memberikan alarm tanda suka cita.

Demokat, lumayan girang, dengan memasangkan dengan AHY cukup wajar. Partai SBY ini juga sudah ikut mendukung Ganjar di Jawa Tengah. Sudah ada kesesuaian yang lumayan lama. Hal yang sangat pas dalam politik. Lha berbeda saja bisa menjadi kawan dalam politik, apalagi sudah pernah bekerja sama.

Masalah noktah yang biasa dimainkan rival politik Ganjar itu soal KTP-el. Demokrat ahlinya ahli soal menghindarkan dari kasus yang satu ini. Gamawang Fauzi, Marzuki Ali, dan petinggi Demokrat, baik legeslatif ataupun ekskutif aman sejahtera dalam kasus ini. Apalagi capres mereka.

Catatan berat ada pada keberadaan AHY yang sangat rentan untuk diobok-obok partainya. Lihat saja pada awal tahun kemarin seperti apa dinamika yang harus mereka hadapi. Moeldoko dan kawan-kawan kelihatannya hanya iseng, tidak serius, dan selesai begitu saja. Kalau niat, pasti tidak akan mangkir dari sidang yang mereka sendiri awali. Kan tidak serius.

Nah ini, jelas lobang yang sangat besar di manfaatkan rival-rival politik yang ada.  Malah berat bagi Ganjar.

Kapasitas AHY juga tidak tampak luar biasa. Lebih cenderung hanya karena ada Yudoyono saja bisa eksis. Identik dengan Puan.

Catatan besar adalah, partai yang hendak mengusung, selain Demokrat. Mereka perlu mendapatkan dukungan dari banyak partai lain, atau minimal satu di antara partai besar. Kemungkinan hanya ada Golkar yang sangat terbuka.

Golkar. Krisis pemimpin sejak Abu Rizal Bakri gagal menjadi apapun pada saat pilpres 2014, dengan modal awal cukup menjanjikan. Malah kalah oleh Gerindra dan PAN. Mereka ada di bawah Golkar, namun bisa menjadi pasangan untuk pilpres. Kan lucu.

Hal yang sama terulang kembali berikutnya. Memang berbeda kasus. Kini, Airlangga Hartarto tidak cukup memiliki banyak kapasitas untuk ikut kontestasi. Suara Golkar masih ajeg, namun untuk populer, keterpilihan Airlangga dan kader lain tidak cukup banyak berbicara.

Mereka memang partai yang suka atau tidak, setuju atau tidak, yang benar-benar partai, tidak mengenal  keluarga atau darah. Mungkin kerak masa lalu yang mmebuat Golkar susah memiliki kader yang mampu menjadi bintang mentereng.

Airlangga, ketua umum yang biasanya mendapat golden tiket, toh tidak menampakan kapasitasnya itu ketika menjadi menteri. Padahal panggung sangat terbuka dengan sangat luas untuk bisa meyakinkan publik.

Sangat mungkin pada periode bersama, posisinya jelas susah melawan Jokowi, namun kini, di kabinet yang sekarang sudah dua tahun menjelang sama saja. Memang tidak pada level yang setara pilpres.

Jika menggunakan Golkar atau Golkar yang mengusung Ganjar sih bisa saja. Hal yang sangat terbuka. Suara cukup signifikan dan  menggaet partai lain untuk maju lebih mudah dari pada Demokrat. Efek dobel G yang sangat menguntungkan keduanya. Tidak ada yang memanfaatkan dan satunya kurang memberikan dampak. Seimbang, ketersalingan, dan simbiosisnya cukup adil.

Nasdem. Partai paling pragmatis era partai muda yang sudah banyak sukses mengusung individu, bukan kader menjadi kepala daerah dengan mengalahkan partai-partai mapan. Mereka melihat prospek pemimpin, bukan soal mutu atau ketokohan dalam partai. Bagaimana si individu itu cukup memiliki nama dan potensi dipilih, ya dukung.

Ini hal yang lumrah di mana kemenangan adalah tujuan akhir, mau baik atau buruk itu tidak menjadi pertimbangan dalam politik. Yang penting menang dan menjadi pejabat, di belakangnya ya jelas partai sebisa mungkin mendapatkan dampak baik.

Ini semua hanya prediksi-prediksi, semua bisa terjadi. Hanya Tuhan dan Megawati yang tahu 2024 mau siapa yang maju. Mau sekuat apapun dinamika yang diciptakan atau disorongkan, kalau Bu Mega mengatakan A yang maju, ya selesai, tidak ada lagi yang bisa membantah.

Apalagi yang tampak di depan media. Amatan ahlinya ahli toh juga hanya prediksi, bukan kepastian.  Benar, prediksi itu juga dengan dasar, pengalaman, kebiasaan, apa yang telah dan pernah terjadi. toh bisa berubah di kemudian hari.

Jadi, ini sih hanya asyik-asyikan saja, bisa apa saja, dan bisa siapa saja. Lagi-lagi apakah publik sama seselera dengan elit partai? Itu yang menjadi pembeda. Jangan-jangan publik sudah disenangin sekian lama, tapi elit merasa susah? Bisa saja bukan?

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun