Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Simalakama Polisi Menghadapi Ujaran Kebencian

17 Mei 2021   09:15 Diperbarui: 17 Mei 2021   13:42 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Simalakama Polisi Menghadapi Ujaran Kebencian

Kemarin, riuh rendah untuk menangani ibu-ibu yang memaki petugas, salah satunya juga polisi tentunya. Mereka, termasuk polisi dimaki anjing, dan aneh dan lucunya, ibu itu mengaku keluarga polisi. Berarti  keluarganya juga anjing? Tentu bukan itu fokus artikel ini.

Akhirnya juga sama, meterai, janji tidak mengulangi, dan kisah lain akan menyusul. Salah satu komentar warganet menyebut, bahwa pasal apa yang mau dikenakan, mana ada jaksa dan hakim yang mau ribet ngurusi hal demikian. Sikap realistis yang cenderung pesimis, berujung pada permisif atas tindak seperti ini.

Benar terulang, ada gadis teriak dan memaki, karena urusan masker. Identik, kata-kata kotor, makian, dan sumpah serapah. Ujungnya juga palingan meterai cemban. Apakah ini cukup, dan mengapa selalu demikian?

Selalu saya tulis, ini soal contoh, keteladanan, dari elit, barisan sakit hati, dan pemuja kekuasaan. Mereka ini "tidak tersentuh  hukum". Pemerintah paham, karena mereka ini kelompok caper, tantrum, dan biar dilirik. Celakanya, mereka semakin didiamkan, semakin ngelunjak. Risiko negara demokrasi belum dewasa ya seperti ini.

Nah, perilaku mereka ini oleh akar rumput dilihat sebagai boleh, baik-baik saja, dan ujungnya gaya bahasa ya jelas sesuai dengan kapasitas dan pengalaman. Elit dan warga sulit sama saja hanya beda dalam akhir penyelesaian. Elit paling diam sebentar usai malu, kalau rakyat biasa, ya meterai.

Perilaku pemuka agama tertentu, ingat tertentu dan perilaku, bukan soal agamanya, semua agama memiliki pemuka agama model ini, cermah, pengajaran agama, apapun namanya menggunakan diksi untuk sekadar menarik publik. Memaki, menjelekkan agama atau pihak lain, cara komunikasi ini dianggap wajar, baik, dan boleh-boleh saja. Legitimasi karena oleh pemuka agama saja boleh.

Pembiaran. Miris, sekian lama, terutama media sosia begitu masif gaya berkomunikasi sangat kasar. Cek saja, paling tidak ketika masa-masa pilpres, mau 14 atau 19. Bahasa dan komunikasi tak elok demikian vulgar. Lha di Kompasiana saja ada beberapa akun model demikian.

Tidak adanya upaya sama sekali pada masa itu, kini menyulitkan. Sudah sangat subur. Seperti gulma sudah menutupi  tanaman baiknya. Ketika mau diluruskan sudah terlalu sulit dan meradang. Tanpa upaya dan kerja keras bisa sangat merusak.

Ada pihak yang memang berkepentingan menciptakan itu. Kelompok yang memang mengupayakan adanya ketidakpercayaan publik pada aparat. Beberapa waktu lalu sempat adanya penangkapan beberapa kelompok yang menggerakan banyak akun media sosial untuk menebarkan ujaran kebencian, hoax, dan tentu saja ada agenda di balik itu semua.

Pengguna media sosial yang berjarak, berani memaki dan mencaci, kemudian semakin berani karena sudah tidak ingat, bahwa itu dunia nyata. Demi viral dan tenar bisa melakukan apa saja, ketika perlawanan salah itu tidak mendapatkan hukuman yang setimpal. Pada akhirnya hanya maaf dan menangis, selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun