Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Tidak Sakti, Bukan Karmanya

14 Mei 2021   07:46 Diperbarui: 14 Mei 2021   07:49 1727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ahok Tidak Sakti, Bukan Karma

Akhir-akhir ini ramai pembicaraan karma Ahok, sumpahnya diterima Tuhan, dan sejenisnya. Mengapa kembali viral? Karena banyak pihak yang dulu menuntut dengan sangat Ahok di penjara satu demi satu tumbang, masuk penjara, dan maaf meninggal dunia.

Usai Rizieq ditangkap dengan relatif mudah, Munarwan menyusul juga dengan cara yang sederhana, eh menyusul Ustad Tengku Zul meninggal. Hal yang sangat alamiah, natural, dan proses biasa di dalam dunia ini.

Sakit yang diakibatkan ulah sendiri. Melanggar protokol kesehatan, sangat mungkin abai, merasa diri hebat, dan kalau tidak membantah pemerintah tidak jagoan, bisa jadi itu adalah kekeliruan yang membawa petaka, bahkan maut. Nyatanya Rizieq Shihab sudah mengaku salah, melanggar protokol kesehatan.

Ketika hari meninggalnya mendiangUustad Zul, banyak orang mengaitkan dengan tanggal vonis Ahok. Itu hanya othak athik gathuk, tidak ada kaitannya. Memangnya Ahok sesakti itu? Jika ia sakti, tidak masuk bui dan tetap menang dalam pilkada.  Ia orang biasa.

Dua hal layak dicermati mengenai hal ini,

Ahok tidak sakti, ucapannya itu karena luapan emosi yang amat sangat. Siapa yang tidak marah sih, tetapi, intinya itu bukan kata-kata itu yang harus menjadi fokus kita bersama, namun bagaimana sikap ksatria dan bertanggung jawab ala Ahok terhadap comelnya dia itu.

Ia menjalani penjara dengan penuh kesadaran, dua tahun penuh tanpa meminta keringanan, banding, dan sebagainya. Hal yang langka di bumi Indonesia ini. Wong begitu banyak keanehan peradilan demi bisa mengurangi, atau bahkan lepas dari hukuman. Hal ini, malah dilepaskan dari perhatian. Ya iyalah, kan tidak seksi.

Mosok Tuhan sebegitu kejamnya sih, membalaskan dendam. Ingat, semua agama mengatakan dan memberikan label Mahakasih, Maha Pengampun, Maharahim, kog membalas? Ini menyangkal jati diri Tuhan sendiri jika demikian.

Semua itu ngundhuh wohing pakarti, memetik buah perbuatannya sendiri. Ingat, Ahok juga ngaco dan comel. Ribet hidupnya. Benar itu fakta, namun tidak bijaksana, konteks dan kondisi tidak memungkinkan. Ini hal yang keliru.

Para korban yang masuk penjara dan meninggal relatif muda itu juga memetik buah perbuatannya. Jika mereka tidak melanggar hukum, tidak menebar hoax, tidak melanggar prokes sebagai bentuk gagah-gagahan, mereka masih baik-baik saja. Ada kog yang masih ada pada posisi terhormat.

Ketika koruptor masuk bui, ada dari BPK, gubernur, atau pejabat lain, kan tidak karena mereka menyeret Ahok, namun mereka memang maling. Awalnya malingnya duluan.  Beberapa hal yang bisa dipelajari,

Satu, jangan-jangan, para maling itu menyeret Ahok demi bisa aman, eh ternyata tidak lama, mereka juga tertangkap. Ini justru berbahaya, karena bisa jadi maling yang  tidak bersangkut paut dengan Ahok tidak mendapatkan perhatian publik.

Dua, pengulang-ulangan kisah ini, bukan membuat kesadaran bagi para penuntut Ahok, malah makin meradang dan menjadi bentuk pertahanan diri yang lebih kuat. Ini ribet baru. Dalam skala kecil dari model komunis menjadi hantu berbangsa.

Esadaran itu bagi pihak yang sangat ideologis, bukan dengan menyerukan kebenaran, logika, dan anekabentuk pengajaran, namun bagaimana mendekati mereka dengan pola pikir mereka. Diajari bahwa ini adalah kutukan, ya mlah makin ngamuk.

Tiga, orang hanya melihat hasil, bukan proses. Bisa dibaca buku dan pernyataan Ahok mengenai betapa susahnya ia bisa menerima keadaan waktu itu. Belajarlah  pada titik itu, bukan malah menggunakan kejadian sebagai sebuah hukuman, atau balasan.

Mengaku beragama, beriman, dan religius, gampang ngamuk kalau agamanya tersentuh, tetapi abai soal dasar beragama. Menerima keadaan dengan  penuh tanggung jawab, menyerahkan pada yang berhak, dan menerima akibat perbuatan itu lebih baik bagi orang beragama, dari pada brbicara balasa atau  hukuman.

Empat, lihat kata-kata Ahok dalam mengungkapkan meninggalnya salah satu tokoh, ia mengucapkan duka, itu pasti tulus, bukan settingan, tidak demikian rekam jejaknya. Nah, kita belajar pada titik ini, marah, jengkel, kecewa itu biasa, namun terukur.

Bangsa ini negara besar, kaya raya, potensial, namun karena sikap batin yang kacau, sangat mungkin menjadi alasan untuk tidak bisa berkembang sesuai dengan potensi yang ada. Pembelajaran itu penting, ttapi, apakah mengubah keadaan, minimal diri sendiri.

Jika tidak, ya sama saja. Jiwa feodal, suka melihat yang lain sedih, malah kecewa ketika melihat yang lain bahagia. Hal-hal positif yang perlu dibangun, bukan makin terpuruk dalam ritual, hafal, dan suka pada yang artifisial.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun