Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Roy Suryo, Politisasi Kapal Selam, dan Empati Kita

24 April 2021   20:19 Diperbarui: 24 April 2021   20:25 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: merdeka.com

Roy Suryo, Politisasi, dan Empati Kita

Duka mendalam, meskipun kata akhir belum ada. Toh kehilangan khabar lebih dari tiga hari itu bagi para keluarga awak kapal sebuah duka yang tidak terperi. Diam saja lebih dari cukup, dari pada simpati, empati, eh ditambah-tambahi jadi politis.

Apa yang diomongkan Roy Suryo semua benar. Ada tiga kisah, fakta, dan kejadian. Namun semua itu tidak patut dijadikan satu kesatuan. Bagaimana mungkin, kapal selam yang belum tahu keberadaannya, dengan 53 orang di dalamnya, berarti juga dengan puluhan keluarga besarnya. Sedang menanti-nantikan, antara cemas, takut, dan pastinya khawatir.

Harun Masiku hilang, atau dihilangkan, atau apalah istilahnya, pun seturut kata atau analisis Roy Suryo. Ini jauh lebih dan cenderung politis dari sekadar kasus hukum. Polemik dan peristilahan saja bisa ke mana-mana. Apalagi jika yang berbicara itu juga politikus.

Mengapa tidak Nazarudin yang juga kabur sampai Amerika Latin sebagai pembanding. Bisa ketemu dan selamat, kan lebih bagus. Eh lupa, kan maunya ngeledek pemerintah.

Truk hilang, ini juga faktual. Memilukan memang. Tapi kog tidak keingat emas dua kilogram? Oh malu kan kalau sama netizen nanti disindir soal panci lagi. Kan julid para warganet kalau menyoal hal beginian.

Ungkapan duka, prihatin, atau memperlihatkan empati dan simpati, mbok ya cukup itu, tidak usah dipakai untuk menyindir, molitik, dan tetek bengek lainnya. Berilah setitik saja hati dan sikap hati yang prihatin, bagaimana jika salah satu atau ada keluarga korban yang membaca?

Ini soal rasa, mengenai bela rasa, ungkapan hati, nah, bagaimana perasaannya, jika keluarga sedang gundah malah dijadikan alat politik seperti ini. Sebenarnya tidak salah, namun tidak etis dan elok.

Hal yang wajar, kala Demokrat memang bisa demikian. Bencana alam saja juga dikaitakan presiden untuk evaluasi. Ini kata ketua umum lho. Yo wajar ketika bekas kadernya ini menggunakan pola yang sama.

Soal pilihan. Mau pencitraan partai atau personal ya silakan saja. Namun mbok yao sedikit saja menyingkirkan politik dari panggung duka.

Bangsa ini sudah terlalu mabuk dengan politik dan politisasi. Bencana politisasi. Hukum dipolitisasi, agama pun juga dijadikan ajang politik. Kekacauan demi kekacauan ya karena perilaku campur aduk ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun