Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Simalakama Liga Super Eropa

20 April 2021   11:23 Diperbarui: 20 April 2021   11:48 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Simalakama Liga Super Eropa

Pertentangan, bahkan perselisihan antara pelatih-pemain dan pemilik klub mewarnai gagasan liga super ini. Para pemilik sih mikir pokoknya uang dan dapat untung gede, mendatangkan iklan, sponsor, dan keuntungan, semua dijalani.

Siapa sih yang tidak tergiur dengan gagasan para tim elit dari tiga liga terbaik dunia itu jadi satu? Hal yang sangat sederhana dan sangat biasa, ketika mendengar Madrid-Barcelona, atau Menchester United bertemu tetangganya Menchester City.

Biasanya, mereke berdelapan belas atau dua puluh itu ada dalam rentang yang sangat jomplang. Siapa yang pernah mendengar bahwa Real Betis juara La Liga atau Bolton juara Liga Inggris, atau  Parma juara. Kadang saja, mereka, tim kecil itu bergantian, sepuluh tahun sekali belum tentu juga.

Juara  ya itu-itu saja. Juventus bahkan delapan kali berturut. Pun Madrid dan Barca cuma sesekali diselingi tim lain. Inggris setali tiga uang. Ya pokoknya mereka kek arisan saja, siapa juara tahun ini. kejutan paling juga hanya sesekali, kek hiburan saja.

Liga Super Eropa ini malah identik dengan Liga Champions. Di mana peringat 1-3 atau 4 setiap liga bertanding di liga setingkat Eropa. Kemampuan teknik, keuangan, dan macam-macamnya itu setara. Beberapa dari negara "penggembira". Lagi-lagi juga juaranya itu lagi itu lagi. Paling-paling juga beberapa kali dalam satu dasa warsa ada yang berbeda.

Nah, kondisi ini yang sangat menggiurkan dan menantang bagi para pemilik klub. Seru, ramai, uang, iklan, dan sponsor akan berbondong-bondong. Tetapi, jangan lupa, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Manusia itu terbatas. Apapun itu, jenuh, kadang perlu juga kalah dan menang.  Di dalam liga, dengan adanya lawan yang ringan itu menjadi sebentuk motivasi atas kemenangan. Ada nuansa yang berbeda. Ketika menang, meskipun dengan klub kecil itu bisa menjadi pembeda, apalagi kala didera kalah beruntun.

Lihat saja ketika tim yang ada di level elit itu sedang krisis, kek MC awal musim, atau Liverpool akhir-akhir ini, mereka bertemu yang setara atau di atasnya pasti lagi enggan. Tidak waktunya untuk merasa kalah lagi kalah lagi.

Tensi selalu tinggi, karena lawannya sepadan. Ini mengerikan. Pemain bukan robot yang selalu dituntut untuk fokus pada level tinggi terus. Ini bisa menjadi bumerang. Apalagi, pemain-pemain andalan tim liga super ini juga menjelang senja.

Level tinggi yang harus selalu dihadapi, jangan-jangan bukan keindahan dan keelokan permainan. Malah pragmatisme dan cenderung emosional yang terjadi.  Lihat saja el classico era Mou di Madrid, mana keindahan permainan? Tidak ada. Itu hanya dua hingga maksimal empat pertandingan, lha ini hampir semua.

Kepentingan FIFA dan UEFA

Piala Eropa dan Piala Dunia akan remuk, ketika para pemain mahal dan terbaik ini tidak bisa bermain di  level dua paling prestisius di dunia sepak bola. Pemain bagus pasti mahal, siapa yang mau membeli jelas klub kaya, mapan, dan langganan jawara. Mereka hanya mau karena itu, uang, jaminan juara, dan pertandingan bagus. Nah, ini masalah bagi negara dan juga serikat baik Eropa atau dunia.

Bayangkan apa jadinya, Piala Dunia, tanpa kehadiran Messi dan Ronaldo, memang bisa saja tidak lolos, tetapi pemain level dekat mereka masih cukup banyak. Sama sekali tidak ada kaliber elit, apakah masih mendulang sponsor?

Klopp jelas tahu dengan baik, pemain, permainan, level persaingan, dan kemenangan. Pemiliki klub akan cenderung soal finansial, uang, dan keuntungan menjadi yang utama. Lain-linnya pendukung, ini  industri, tentu berbeda dengan pandangan dan keinginan penonton. Apa bisa pemain, orang yang terbatas itu main dengan intensitas tinggi terus, apa tidak bosan dan frustasi?

Menang kalah itu sebuah hal yang sangat dinikmati oleh pemain, yang memang manusia. Menang terus pasti akan bosan. Bisa kehilangan motivasi. Lihat saja dan tanya saja pada para pemain yang sering juara, pasti mereka jenuh. Bosan, tidak ada tantangan. Maka, pemain-pemain ini pindah klub dan liga, demi mendapatkan hal baru, selain uang.

Piala dunia antarklub saja berlangsung setahun sekali, hanya beberapa tim, jawara Eropa dan Amerika Latin silih berganti juara. Lainnya penggembira. Kesenjangan ini masih demikian kuat. Memang bisa saja menjadi solusi bagi tim-tim elit pangeran Eropa ini menempatkan diri di posisi itu, namun apakah membawa dampak baik bagi perkembangan lainnya?

Jika menyoal gaji petinggi federasi sebagaimana kata penggagas liga super Eropa, lha apa nantinya juga tidak akan lahir kondisi yang sama? Ini cenderung protes karena para elit ini merasa dikadalin petinggi federasi yang sangat mungkin mereka anggap tidak berjasa.

Masih berjalan, layak ditunggu, biasa hal baru akan melahirkan pro dan kontra. Kepentingan dan uang yang berbicara. Siapa yang tidak tergiur. Namun ancaman dan kekangan juga tidak kalah masif.  Siapa menang? Federasi atau elit klub kaya raya?

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun