Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Merenggut TMII

7 April 2021   21:43 Diperbarui: 7 April 2021   21:49 1569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jokowi Berebut TMII

DaLam sehari, TMII menjadi pusat perhatian. Taman yang digagas dan didirikan  Ibu Negara Tin Soeharto, dalam hari-hari ini menjadi perbincangan. Pihak Kemensesneg menegaskan, negara mengambil alih pengelolaan TMII, usai hampir setengah abad dikelola oleh pihak pribadi.

Era Soeharto pengelolaan TMII diserahkan kepada Yayasan Harapan Kita, yang dikelola Tien Soeharto dan istri pejabat kala itu. Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres untuk mengembalikan aset negara itu kembali pada "pemiliknya" yang semestinya.

Pada sisi lain, ada perusahaan Singapura yang menuntut bahwa TMII, tanah dan bangunannya harus disita dan diberikan kepada mereka. Mengulik berita hanya berisi siapa yang dituntut, yaitu yayasan dan anak-anak Soeharto, kantor pertanahan, sekretariat negara untuk membayar kepada perusahaan itu. Namun soal apa penyebabnya belum menemukan.

Lebih menarik adalah mengulik perihal  negara mengambil alih pengelolaan TMII dari yayasan yang selama ini dikenal "milik" Soeharto dan keluarga. Jika menilik gagasan Tien Seharto itu dipublikasikan dalam acara temu gubernur, bupati-walikota, ada presiden dan mendagri, cenderung ini adalah pembangunan negara.

Pengelolaan oleh Tien dan kawan-kawan dengan Kepper no. 51 tahun 1977, kini 44 tahun kemudian diambil alih dengan Peraturan Presiden. Hal yang sudah layak dan sepantasnya. Bagaimana negara membangun namun kemudian menjadi milik pribadi. Pantas saja elit makmur namun rakyat merana.

Bagaimana reputasi Jokowi memang layak diacungi jempol. Mau suka atau tidak, toh benar-benar terjadi. Free Port diambil alih, pengelolaan blok minyak yang biasa dijadikan bancaan elit dan piahk asing kini sudah kembali kepada negara sepenuhnya.

Wajar, ketika stabilitas politik pun keamanan menjadi riskan. Mengapa? Pihak-pihak yang biasa mendapatkan keuntungan kini bisa buntung. Nah mereka inilah yang mengail di air keruh. Harapannya Jokowi tidak lagi dipercaya rakyat  dan akhirnya tumbang.

Rakyat makin cerdas. Tahu mana yang sungguh-sungguh dan mana yang hanya mau mengeruk keuntungan untuk diri dan kelompoknya. Mereka-mereka inilah yang sekuat tenaga membela dan mendukung Jokowi dengan segala keputusannya.

Tumben belum hiruk pikuk menyalah-nyalahkan pemerintah. Biasanya pemerintah selalu saja salah. Mau benar dimaki, apalagi salah. Sasarannya pun ngeri Cendana. Siapa yang tidak tahu reputasi Cendana, bagi yang lahir 80-an ke atas tentu paham. Generasi 90-an hanya mendengar cerita. 2000-an sama sekali sudah tidak lagi tahu.

Kekuasaan mutlak di satu tangan, Soeharto. Benar salah itu ya keputusan Soeharto. Pengelolaan TMII seolah adalah yayasan, namun toh keuangan ke pribadi, bukan masuk kas negara. Padahal sangat mungkin pendanaan adalah dari uang negara.

Memilukan lagi, jika membayangkan pembebasan lahan 150 hektarae di Jakarta lagi. Walaupun tahun 70-an, toh sudah sangat padat Jakarta. Berbeda jika itu di luar Jawa. Ini Jakarta. Apalagi reputasi kala itu, demi pembangunan, rakyat "dibuang" dengan transmigrasi itu soal biasa. Menolak berarti subversif dan artinya penjara atau maut yang menghadang.

Membebaskan tanah seluas itu, di Jakarta lagi, apakah mungkin ada audit, atau malah tuntutan dari para ahliwaris? Tetapi pasti akan susah, karena para pemilik waktu itu, pasti sudah habis. Administrasi pertanahan juga masih sederhana.

Sangat mungkin ada ketidakadilan, soal pembebasan lahan. Reputasi pemerintah itu kental dengan aksi militerisme. Labeling subvrsif sudah membuat ciut nyali. Apalagi sampai kena stempel OT, organisasi terlarang, alias PKI. Sudah tamat seluruh hidup tujuh turunan.

Soal tanah dan lahan. Rakyat jelas sudah susah untuk bisa  menelusuri siapa pemiliknya, apakah sudah sesuai dengan harga jual waktu itu.

Pendanaan. Konon, itu iuran daerah-daerah, disebutkan juga swasta. Jika bantuan swasta sih bisa diperkirakan muaranya siapa-siapa dan kenapa. Mereka juga yang bersama penguasa mendapatkan banyak proyek.  Gubernur, bupati-walikota, sebagaimana di sebut di atas. Di mana mereka yang mendengarkan gagasan Tien Soehartolah yang berperan besar.

Keuangan daerah sangat mungkin menjadi sumber dana yang cukup besar untuk itu.Padahal,  keadaan rakyat saja, kala itu tentunya sangat minim. Berbeda dengan proyek mercusuar era Sukarno, Gelora Senayan, Monas, atau yang lainnya, kebanggaan rakyat, di tengah kemiskinan, toh bukan kepentingan pribadi Sukarno dan keluarga.

Berapa saja uang yang terkumpul selama lebih dari empat dasa warsa itu. Atas nama  yayasan, dikelola pribadi. Padahal sangat mungkin dinas atau kementerian pariwisata yang mengelola. Padahal itu bukan hanya satu. Plus ada juga pemerintahan yang membangun model ini lho.

Satu demi satu kekayaan negara kembali kepada pengelolaan negara. Wajar kalau yang biasa berpesta itu meradang dan kemudian marah. Pemimpin itu ya memang harus berani tidak populer, dimusuhi sekalipun, asal taat azas dan aturan.

Ketika Freeport, blok minyak, atau tambang, itu hambatan gede, tapi yang terdampak banyak, makanya riuh. TMII ini kan hanya sekelompok orang, jadi sepi, paling-paling beberapa orang yang itu lagi itu lagi. Memang loyalis Cendana.

Harapan makin besar, ketika pengelolaan negara berdasar atas hukum dan perundang-undangan. Penolakan tentunya juga masif, tetapi sepanjang sesuai dengan peraturan, Presiden Jokowi, maju terus!

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun