Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Merenggut TMII

7 April 2021   21:43 Diperbarui: 7 April 2021   21:49 1569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekuasaan mutlak di satu tangan, Soeharto. Benar salah itu ya keputusan Soeharto. Pengelolaan TMII seolah adalah yayasan, namun toh keuangan ke pribadi, bukan masuk kas negara. Padahal sangat mungkin pendanaan adalah dari uang negara.

Memilukan lagi, jika membayangkan pembebasan lahan 150 hektarae di Jakarta lagi. Walaupun tahun 70-an, toh sudah sangat padat Jakarta. Berbeda jika itu di luar Jawa. Ini Jakarta. Apalagi reputasi kala itu, demi pembangunan, rakyat "dibuang" dengan transmigrasi itu soal biasa. Menolak berarti subversif dan artinya penjara atau maut yang menghadang.

Membebaskan tanah seluas itu, di Jakarta lagi, apakah mungkin ada audit, atau malah tuntutan dari para ahliwaris? Tetapi pasti akan susah, karena para pemilik waktu itu, pasti sudah habis. Administrasi pertanahan juga masih sederhana.

Sangat mungkin ada ketidakadilan, soal pembebasan lahan. Reputasi pemerintah itu kental dengan aksi militerisme. Labeling subvrsif sudah membuat ciut nyali. Apalagi sampai kena stempel OT, organisasi terlarang, alias PKI. Sudah tamat seluruh hidup tujuh turunan.

Soal tanah dan lahan. Rakyat jelas sudah susah untuk bisa  menelusuri siapa pemiliknya, apakah sudah sesuai dengan harga jual waktu itu.

Pendanaan. Konon, itu iuran daerah-daerah, disebutkan juga swasta. Jika bantuan swasta sih bisa diperkirakan muaranya siapa-siapa dan kenapa. Mereka juga yang bersama penguasa mendapatkan banyak proyek.  Gubernur, bupati-walikota, sebagaimana di sebut di atas. Di mana mereka yang mendengarkan gagasan Tien Soehartolah yang berperan besar.

Keuangan daerah sangat mungkin menjadi sumber dana yang cukup besar untuk itu.Padahal,  keadaan rakyat saja, kala itu tentunya sangat minim. Berbeda dengan proyek mercusuar era Sukarno, Gelora Senayan, Monas, atau yang lainnya, kebanggaan rakyat, di tengah kemiskinan, toh bukan kepentingan pribadi Sukarno dan keluarga.

Berapa saja uang yang terkumpul selama lebih dari empat dasa warsa itu. Atas nama  yayasan, dikelola pribadi. Padahal sangat mungkin dinas atau kementerian pariwisata yang mengelola. Padahal itu bukan hanya satu. Plus ada juga pemerintahan yang membangun model ini lho.

Satu demi satu kekayaan negara kembali kepada pengelolaan negara. Wajar kalau yang biasa berpesta itu meradang dan kemudian marah. Pemimpin itu ya memang harus berani tidak populer, dimusuhi sekalipun, asal taat azas dan aturan.

Ketika Freeport, blok minyak, atau tambang, itu hambatan gede, tapi yang terdampak banyak, makanya riuh. TMII ini kan hanya sekelompok orang, jadi sepi, paling-paling beberapa orang yang itu lagi itu lagi. Memang loyalis Cendana.

Harapan makin besar, ketika pengelolaan negara berdasar atas hukum dan perundang-undangan. Penolakan tentunya juga masif, tetapi sepanjang sesuai dengan peraturan, Presiden Jokowi, maju terus!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun