Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

5 Alasan Mempertanyakan "BEM" UI Mengenai FPI

6 Januari 2021   13:50 Diperbarui: 6 Januari 2021   13:54 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

5 Alasan "BEM UI" Perlu Dipertanyakan Mengenai FPI

Usai tahun baru, tiba-tiba "BEM UI" menyuarakan mengenai pembubaran FPI yang sudah berlangsung sejak akhir tahun. Mengapa menarik dilihat adalah beberapa hal sebagai berikut;

Satu, konon mereka yang bersuara ini sudah bukan lagi BEM yang legitimasi. Mereka sudah ada yang menggantikannya. Artinya, mereka cenderung tidak lagi sepenuhnya memiliki hak dan kapasitas untuk bersuara dengan menggunakan atribut organisasi mahasiswa, tanpa melibatkan ketua dan pengurus terpilih.

Keberadaannya yang dengan cepat terkuak karena kecepatan netizen dalam mengulik fakta membuat mereka langsung tersudut dengan telak. Aktivis tanpa naungan lembaga, organisasi, dan kelompok sama juga sapi ompong. Suara keras namun tidak berdampak.

Dua, SKB itu bukan membubarkan, namun lebih jauh adalah melarang seluruh aktivitas, atribut, dan simbol-simbol FPI. Semua itu terjadi  karena sudah masuk pada tataran terlarang. Tidak ada pembubaran karena sudah bubar dengan sendirinya ketika ormas ini tidak mengurus perpanjangan izin yang sudah habis masa berlakunya. Dua kondisi yang berbeda.

Bubarnya ormas ini dasarnya  bukan SKB yang membuat ormas ini tidak lagi memiliki legitimasi, namun karena tidak memperpanjang izin sama juga dengan membubarkan diri.  Apa iya mahasiswa hukum tidak paham dengan istilah demikian?

Tiga, ada dua profesor hukum tata negara yang terlibat di dalam pembuatan SKB dan dengan kata akhir melarang seluruh hal yang berbau FPI. Mereka memiliki staf dan kolega yang pastinya tidak akan main-main. Rekam jejak mereka berdua saja sudah menghadapi sengketa sekelas pemilihan presiden. jauh lebih rumit, pelik, dan pelakunya sudah ahlinya ahli, mereka terlibat di sana. Kalau hanya soal ormas ilegal tentu tidak begitu susah.

Bandingkan dengan mahasiswa yang kuliah saja belum kelar. Ingat ini bukan soal masalah gila hormat atau gila gelar, namun bagaimana pola pikir mahasiswa dan mahaguru tentu saja berbeda. Mahasiswa cenderung emosional, sektarian, dan sepihak. Jauh berbeda dengan ahli, pakar, yang terlibat di sana. Ada banyak masukan yang tidak hanya melihat sisi yang sedikit, namun jauh lebih luas.

Sama juga dengan melihat dari rumah dengan satu lantai dengan lima lantai, akan lebih jelas, gamblang, menyeluruh yang dari tingkat yang lebih tinggi. Sisi emosional, pemetaan masalah, pengalaman, dan pengetahuan jelas jomplang.

Empat, FPI sendiri tidak berani menuntut ke PTUN artinya mereka sndiri telah melihat peluang itu habis. Mengapa? Begitu panjang rangkaian "kekalahan" mereka itu derita. Masuknya MRS ke bui itu jelas sangat telak dan mereka sudah kehabisan sebagian besar energi. Belum lagi pengungkapan kasus-kasus lama dan kasus baru, baik secara organisasi, FPI-nya atau para elit mereka.

Satu demi satu masuk panggilan Polda atau Bareskrim Polri.  Belum pernah kejadian seperti ini. mereka paham, sumber dana dan sumber daya mereka tidak akan mampu menghadapi begitu banyak kasus yang membelit. Jika bisa meladeni mereka akan kuwalahan. Permintaan bantuan hukum pada pihak-pihak yang sekiranya berimbang dengan negara sudah ditolak, Yusri dan Hotman.  Jelas ini adalah kekalahan makin mutlak bagi mereka.

Pantas sepi dari pendukung, ketika praperadilan menyidangkan perdana kasus Rizieq. Mereka mulai kehilangan gairah, semangat, dan juga mungkin dukungan. Apalagi yang terbaru, konon, mau mencabut gelar imam besar bagi MRS. Selesai sudah, mencari lagi sosok dan figur yang mampu dan sebesar Rizieq ke depannya.

Lima,   setelah ramai di media dan media sosial, pernyataan mereka, kini mengaku bukan mendukung FPI namun cara di dalam menetapkan pelarangannya. Hal yang mempertontonkan kelabilan emosional mereka memang masih kental. Padahal jika memang benar mengapa perlu takut dan berbelit di dalam bersikap.

Toh membela prosedurnya pun sama ngaconnya. Mana mungkin sih kaliber Menkopolukam teledor dan salah dalam membuat sebuah aturan. Ia juga lama di MK di mana menyidangkan apa yang menjadi keberatan masyarakat dan organisasi mengenai UU dan produknya. Ada pula Wamen Kum HAM yang sama kapasitas keilmuannya. Petinggi-petinggi lembaga dan badan lain tentunya juga tidak akan gegabah menyetujui jika ada yang salah prosedur.

Ada enam lembaga yang bersama-sama membuat sebuah keputusan. Jika saja ada lima yang mau memaksakan kehendak di dalam melanggar prosedur tetap masih ada satu yang akan menyatakan pendapatnya. Susah melihat enam pihak semua ngaco bahkan melanggar hukum. Apalagi usia mereka juga bukan remaja atau dewasa awal. Lebih tenang, bijak, dan tidak akan grusa-grusu.

Tentu saja ini bukan pembelaan membabi buta, melihat rekam jejak para pejabat yang membuat SKB, usia muda mahasiswa, dan juga perilaku pegiat dan aktivitas ormas itu selama ini.  Pilihan yang  sangat tidak mudah pastinya. Gurita sejak 98 dengan berbagai kepentingan, manufer, dan tentu saja kerja sama dengan banyak pihak.

Wajar kesulitan itu harus diatasi dengan sangat serius, lintas lembaga, dan berujung pada SKB. Masalah pro dan kontra itu wajar, asal mendasar, minimal memiliki dasar sebagai acuan untuk menyatakan baik pro dan kontra.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun