Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Risma dan Jokowi Menjawab Sekaligus JK dan Hidayat Nur Wahid

2 Januari 2021   09:41 Diperbarui: 2 Januari 2021   09:47 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Risma dan Jokowi Menjawab Sekaligus JK dan Hidayat Nur Wahid

Hampir dua bulan lalu JK atau Jusuf Kalla menyatakan kalau bangsa ini sedang krisis kepemimpinan. Lebih jauh dan lebih sarkastik malah kosong pemimpin. Mau nasional atau pusat, toh sama saja, yang penting ada yang sedang krisis. Eh belum sebulan Jakarta kosong pemimpinnya karena tumbang terpapar covid seluruhnya. Jawaban langsung ada dari Semesta.

Akhir bulan, Presiden Jokowi mengganti beberapa menteri dengan berbagai alasan, dan khas Jokowi tidak memberikan alasan itu kepada publik. Salah satu yang diganti adalah Menteri Sosial Republik Indonesia yang terkena kasus KPK.  Seolah menjawab keinginan masyarakat, yang diangkat adalah Risma. Tanpa lama, wakil ketua MPR bereaksi. Tidak boleh rangkap jabatan. Pernyataan cenderung sengit telah terlontar.

Tanpa melihat itu semua, Risma langsung jalan dengan kebiasaan dan kinerja lapangannya. Ia masuk ke kantong-kantong kemiskinan di depan mata bangsa dan negara ini. Pusat negara,  ibukota pemerintahan, namun kolong dan jembatan tol atau jalan layang ada hunian dari sekian banyak warga negara.

Apakah ini kerja menteri sosial? Sejatinya tidak. Ini adalah ranah kepala daerah yang seharusnya berkoordinasi dengan pihak kementrian sosial untuk pendanaan, penanganan, dan birokrasi  lainnya. Daerah tidak akan mampu karena multi kompleks persoalan. Hal yang wajar di daerah megapolitan dan ibukota negara, pusat segala pusat itu. Kemensos hanya menjadi fasilitator dan eksekutor dan pelaku lapangan adalah jajaran pimpinan daerah.

 Lha ke mana pimpinan daerahnya? Itu sudah dikatakan oleh Pak Wapres dua periode sedang krisis kepemimpinan.  Mengulangi kisah PUPR yang akhirnya mengambil alih soal sungai dan penanganan banjir yang sejatinya kewenangan daerah yang sama sekali tidak bekerja. Risma memberikan jawaban dengan kinerja soal kekosongan pemimpin ternyata.

Hal yang identik apa yang dinyatakan HNW, di mana jabatan tidak boleh ganda. Lucu, ketika dalam hitungan jam langsung mengeluarkan kritikan, padahal secara administratif ataupun teknis toh  tidak begitu banyak masalah. Namun mengapa sekian lama diam padahal mempertontonkan kinerja yang nol besar dari kepala daerah yang tidak bekerja. Atau karena satu garis dan satu perjuangan kemudian tutup mata?

Bangsa ini terlalu besar untuk bisa  satu pandangan dan satu ide gagasan. Tetapi ketika orang bekerja malah dijdikan sasaran tembak, dan yang tidak bekerja malah didiamkan, akan sangat kecil peluang untuk bertahan. Apakah hal itu yang mereka, model JK dan HNW inginkan atas keberadaan negeri ini?

Waktunya pelaku dan elit pekerja, prestasi menjadi rujukan, bukan semata politikus banyak omong dan miskin gagasan baru. Begitu melimpah pemimpin muda, pemimpin baru yang berbasis pada kinerja, prestasi, dan capaian di mana-mana. Pada saat yang sama, juga perlu kesadaran bahwa pemimpin yang sudah sepuh untuk undur diri dan menjadi begawan bagi para politikus, negarawan, daerahwan di dalam memimpin. Jika ada yang melenceng ya memang perlu dijewer, bahkan mungkin ditabok. Namun bukan yang bekerja bener namun menghambat kepentingan kemudian dipukuli ramai-ramai.

Perbedaan pendapat itu hal yang wajar, namanya juga alam demokrasi. Tetapi jangan lupakan, bagaimanapun kebebasan juga perlu etis dan sisi ini banyak diabaikan elit. Kritik dan saran itu harus, namun jangan lupa ada sebentuk solusi, atau minimal adalah memiliki dasar yang kuat, bukan asal berbeda dengan kebijakan yang ada semata.

Apa yang terjadi, seolah malah menjadi kebiasaan, tabiat baru, dan kebiasaan yang jangan sampai pada nantinya menjadi budaya, di mana orang bekerja malah dijadikan sansak dan digebugin ramai-ramai, dan mendiamkan yang tidak bekerja namun karena sama-sama tidak bekerja atau malah menguntungkan kemudian didiamkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun