Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ke Mana Anies?

27 April 2020   19:13 Diperbarui: 27 April 2020   19:09 1513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ke Mana Anies?

Kemarin ramai pembicaraan rilis hasil survei dari lembaga Median. Hasilnya sudah seperti yang diduga menempatkan Anies pada posisi jawara dan Risma pada posisi buncit. Artikel ini tidak hendak membahas itu. Wong aneh, Risma itu walikota, tidak sebanding dengan Anies, kecuali mau memperlihatkan keberadaan yang memang tidak pas itu.

Eh pagi-pagi malah tayangan di mana Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengunjungi asrama mahasiswa Papua di Salatiga. Dampak pandemi tetap terjadi, dan mereka tidak bisa membayar air sehingga aliran airnta diputus pihak PDAM. Tagihan langsung dibayar oleh gubernur, sehingga mereka kembali menikmati aliran air. Air jelas sangat vital untuk kehidupan.

Sore ini ada khabar cukup menggembirakan, adanya harapan baik, bahkan kata juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Juli kehidupan sudah akan kembali normal. Pengurangan cukup signifikan di Jakarta, dan ada kecenderungan flat, mendatar, tanpa ada kenaikan yang berarti. Sudah ada tanda-tanda berakhirnya pandemi ini, minimal sudah bisa bernafas cukup lega dengan angka-angka positif yang ada.

Tumben konpres Jakarta, bukan dilakukan oleh Gubernur DKI, yang biasanya selalu up date, bahkan tidak jarang mendahului pengumuman pusat. Yah biar saja, asal senang dan tidak membuat gaduh. Toh semua juga paham siapa yang bekerja dan siapa yang mengaku dan merasa bekerja. Itu masyarakat yang menilai. Klaim tidak cukup berguna.

Biasanya selalu hadir menyampaikan berita dengan khas dramanya. Angka-angka yang dibuat sedemikian menakutkan, hingga menyatakan 6000 penderita jika tidak disikapi denga benar-benar dalam dua minggu. Syukur bahwa sekian lama masih pada kisaran 3000. Padahal ada hal menggembirakan, mulai membaik, kog malah tidak datang.

Pilihan dugaan kedua, cukup tahu diri, karena perkembangan ini jauh lebih banyak yang melakukan adalah Gugus Tugas Pusat bersama kementerian terkait. Wong nyatanya data amburadul yang merupakan kewenangan daerah. Pasar masih ramai, kumpulan demi kumpulan tercipta dan itu adalah ranah pemerintah daerah.

PSBB, jalanan masih ramai, malah menuding kemenhub dengan KRL-nya yang tidak dihentikan perjalanannya. Ini jelas mempertontonkan, ketika tempat usaha, perkantoran, dan juga nakes banyak yang menggunakan KRL, karena domisili mereka ada di luar kawasan PSBB.

Polemiknya yang dibesar-besarkan, bukan bagaimana mengatasi yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Jalanan masih ramai, pasar masih biasa, tempat ibadah beberapa masih aktif tanpa adanya perubahan yang signifikan. Laporan pengidap terus saja berdatangan. Tetapi yang dilakukan berbeda dengan yang dinarasikan.

Drama ketika ada yang tergeletak karena tidak ada uang untuk membayar kost atau kontrakan, lagi-lagi bergetar. Namun tindakan nyata juga tidak ada. Bergetar ini sampai keluar dua kali. Yang dulu sampai membuat heboh karena ditengarai ada permainan di balik media yang mengabarkan dengan judul yang hampir seragam.  Yang dinyatakan soal kematian.

Seolah negara abai dengan  kematian demi kematian yang terjadi. Ingat, yang  mengatakan itu juga bagian utuh dari pemerintah. Entah pemikirannya apa, bisa menglaim diri berbeda dengan yang ada. Ketika ramai-ramai pejabat lain menyatakan harapan membaik, melakukan pencegahan dengan relatif, berhasil. Ada satu yang bergetar memainkan narasi kematian.

IDI juga mendukung dengan narasi yang identik, ketika menyatakan ada kemungkinan angka kematian jauh lebih banyak dari yang dikatakan oleh juru bicara Gugus Tugas. Jawaban pas dan tepat oleh jubir, mana buktinya sampaikan kepada tim, dan memang tidak ada.

Presiden sampai turun tangan soal ini, dan IDI merevisi pernyataannya. Usai itu cukup diam, tidak lagi riuh rendah dengan klaim sepihak dan juga celaan atas keputusan pihak lain. Ini sama juga dengan pemerintah daerah maido pusat, ketika IDI juga maido, rekan dokter mereka yang berjibaku dengan maaf nyawa bahkan.

Dua pola yang sama. Konpres dengan banyak nada pesimis yang lebih dominan. Padahal banyak argumen yang mengatakan jika pikiran dan sikap positif membantu menaikan imunitas. Ketika daya tahan tubuh membaik, tentu virus lebih susah untuk merusak.

Pola lainnya ada narasi kematian. Bagaimana mereka, dua pihak ini membesar-besarkan angka kematian, dan tidak ada faktualisasinya. Hanya sudut pandang saja yang seolah-olah gede. Menciptakan teror ketakutan yang dijawab dengan tidak sebagaimana harapan. Tetap saja gagal.

Harapan ini semoga semakin membuat seluruh anak bangsa lebih disiplin diri, bukan lagi malah kepedean dan menjadikan bumerang kembali meledak. Mengapa?

Karena merasa sudah lebih baik kemudian tidak waspada, dan kembali lepas kendali. Lihat saja aktifitas keagamaan dengan berbagai-bagai alasan dan dalih masih masif terjadi. Peryataan  ini bisa menjadi simalakama, jika penegakan jaga jarak dan jaga kondisi tidak diterapkan dengan baik. Masih sangat berpotensi terjadinya penularan.

Prediksi itu bukan kepastian. Bagus jika menjadikan perhatian dan kemudian lebih taat dengan tidak melakukan banyak aktifitas diluar, berkumpul, dan juga melakukan kegiatan yang melibatkan banyak orang. Kesadaran bersama, gotong royong, jaga tangga, dan juga penegakan hukum oleh aparat dengan lebih tegas lagi. Ingat tegas bukan berarti keras atau malah kasar.

Larangan mudik dengan polemiknya, toh masih terjadi di jalan. Bagaimana rekayasa masih saja terjadi. Bus dengan penumpang pada bagian bagasi dan ketika lewat pos pantau naik lagi. Ini lagi-lagi simalakama memang. Tidak mudah.

Belum lagi yang tidak disiplin diri dengan menaati protokol penanggulangan covid. Merahasiakan perjalanan. Dokter tertipu. Masih besar pula dampak kegiatan di luar daerah dan kemudian menulari keluarga.  Sejatinya hal ini tidak perlu terjadi, jika elit kompak.

Para pelaku politik bukan menggunakan pandemi ini sebagai panggung mendapatkan kesempatan untuk mendeskreditkan pemerintah, terutama Jokowi. Pilihannya tepat. Buktinya banyak, dan itu juga akan dinikmati oleh semua elemen anak bangsa. Namun sudah membawa korban karena egoisme yang ada.

Gotong royong dan disiplin bersama akan sangat membantu semua berakhir lebih cepat. Harapan itu sudah semakin jelas tanda-tandanya, jangan dirusak lagi-lagi oleh egoisme segelintir elit politik.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun