Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Antara Otentitas dan Pencitraan

27 Maret 2020   12:56 Diperbarui: 27 Maret 2020   12:59 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ikut berduka bagi keluarga besar Pak Jokowi atas meninggalnya sang ibu. Duka di tengah pandemi yang bisa dijalani dengan sikap bijak. Masih saja ada pihak-pihak yang seolah kampanye. Lha nyatanya Prabowo yang mereka dukung dan usung sudah di dalam pemerintahan. Atau mau mempertunjukkan diri kalau ada agenda berbeda?

 Mau benci seperti apapun, mau kasar ya silakan, kalau mengatasnamakan demokrasi dan abai etika, toh manusia waras akan menimbang waktu dan moment. Jika itu dalam masa kampanye sih masih bisa lah diterima akal sehat, ketika berbicara demokrasi. Lha ini masa pemerintahan belum juga setahun, suasana duka lagi, kog bicara sembarangan.

Itu sisi dari para pelaku, hanya sebentuk ilustrasi dan keadaan faktualnya. Lebih penting adalah melihat tanggapan Jokowi dan salah satu anaknya. Kaesang, beberapa waktu lalu ditandai orang karena mirip dengan pelaku penipuan. Si pelaku mengaku iseng dan becanda kemudian memohon maaf. Nah Kaesang dengan enteng menjawab iya, berbeda dengan koleganya, yang tidak bisa menerima itu. hukum harus ditegakkan.

Wajar melihat apa yang Kaesang lakukan. Ini adalah hasil didikan, bukan karena kepentingan politik. Hal yang sama juga ia nyatakan mengenai penghinaan dan kata-kata buruk soal meninggalnya sang nenek. Ia menyatakan, tidak perlu dibesar-besarkan.

Politik, pencitraan, dan prestasi

Suka atau tidak, kita sangat akrab dengan pencitraan politik. Ya jelas sangat wajar karena namanya orang berpolitik ya normal jika memoles bopeng menjadi mulus. Kek orang mengenaka make up. Dan sayangnya banyak politikus kita itu sudah bopeng, badeg lagi. Jadi polesan itu menimbulkan bau apek yang tidak ketulungan.

Dan bukan ini yang menjadi ulasan. Namun bagaimana Jokowi itu bersikap, antara pencitraan atau orisinal. Cukup mudah ditelaah dengan cepat. Prestasi. Ini era baru, di mana dulu, politikus selain KKN adalah polesan dan banyaknya parfum yang dipakai. Menguar semerbak nol capaian, dan ketika gagal hanya tinggal membuat dalih dan kambing hitam.

Jokowi dan banyak kalangan berprestasi mulai menapak papan atas politik. Ahok, Risma, Anas, Susi Pudjiastuti, SMI, dan satu demi satu orang berlomba dengan capaian, prestasi, dan bukan semata darah dan relasi baik. Era berikutnya ada Erick Tohir, dan masih menunggu lagi belum tampak  lagi.

Mirisnya caci maki dan permusuhan yang diterima. Toh mereka semua melaju dengan apa yang mereka mampu. Pada sisi lain, pelaku penistaan, mencaci, dan membully ya itu lagi itu lagi. Tidak jauh berbeda. Pelakunya pun jauh dari prestasi ketika menjabat ini dan itu. Ada Fadli Zon, Rizal Ramli, dan pengikut mereka.

Rekam jejak dan kepentingan. Melihat rekam jejak Jokowi selama ini  tidak memberikan arah pembuktian bahwa itu pencitraan. Orang tidak akan tahan selama lima tahun lebih konsisten dengan pilihannya tetap diam dengan terpaan seperti yang selama ini ia hadapi.  Toh tidak pernah menanggapi dengan sikap yang berlebihan. Pelaporan polisi atau hujatan yang sama.

Kepentingan politik juga sudah tidak memberikan petunjuk ke sana. Wong pemilihan sudah tidak ada lagi kog. Apanya yang mau diharapkan dengan pilihan-pilihan sulitnya. Toh masih sama yang ia lakukan. Tidak ada perubahan.

Fokus. Kebanyakan orang memberikan ruang, kesempatan, dan energi untuk kalah pada keadaan. Jokowi fokus pada kinerja, sehingga tidak sempat memikirkan dan menanggapi apa yang terjadi terutama yang buruk menuju diri dan keluarganya.

Pilihan yang baik bagaimana hidup itu bukan ditentukan oleh kata orang yang tidak suka. Kalau kata Ahok selama tidak melanggar konstitusi mengapa takut pada konstituen. Memang Pak Jokowi tidak pernah mengatakan apapun secara lugas mengapa ia bisa tahan dalam keadaan demikian.

Membedakan diri dengan baik dan tepat, mana sebagai pribadi mana sebagai pejabat. Meskipun dalam menghadapi caci maki sama saja, namun menghadapi kenyataan duka dan dilanjutkan sidang G-20 tetap berlangsung. Sangat mungkin kog mendelegasikan, atau minimal mengatakan tidak bisa ikut, tidak konsentrasi, atau sedang berduka. Toh tidak. Ciri seorang yang sudah usai dengan dirinya.

Pelaku politik, bermain dalam dunia politik, serta menampilkan citra itu sangat wajar. Mau memoles seperti apa itu yang sangat alamiah. Menjadi soal adalah ketika citra itu kedodoran saat menghadapi kenyataan. Kala orisinalitas yang ada, sangat mungkin tetap konsisten apapun kondisi dan keadaannya.

Capaian lebih gede dari apa yang dikatakan atau direncanakan. Mengapa bisa demikian? Konsentrasinya pada capian bukan soal  nama atau keinginan. Waktu, energi, dan pemikiran hanya berorientasi pada hasil.

Dampak itu bisa dirasakan. Konsentrasi bukan pada kata negatif namun ukuran yang jelas dan pasti. Menyenangkan semua pihak itu tidak mungkin. Namun mencapai standar yang umum bisa dilampaui. Apapun yang dilakukan tidak akan pernah diterima dengan pernyataan baik oleh politikus dan jajaran yang memang tidak suka, tetapi perencanaan toh terealisasi.

Pemimpin memang harus panjang sabar dan tebal  kuping. Kalau sebaliknya yang ada adalah jual derita. Dikit-dikit mengeluh dan curhat. Lah ribet kalau demikian.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun