Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkat di Balik Covid-19, Mendadak Guru

20 Maret 2020   14:12 Diperbarui: 20 Maret 2020   15:40 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mendadak Guru, Berkat atas Covid-19

Beberapa hari terkakhir, riuh rendah kegelian dan ada pula kegelisahan orang tua dalam berperan sebagai pendidik. Padahal sejatinya keluarga adalah pendidik yang pertama dan utama. Toh, ketika harus menjadi "guru" itu sebagai sebuah  tugas, bukan lagi kodrat, tidak gampang. Berangkat dari status media sosial rekan Kompasianer Lia Wahab, mencoba mengulik keadaan yang baik ini.

Dalam statusnya, ia meminta obat tensi, di mana menemani dan jelas mengajari putrinya belajar itu berpotensi membuat tensi naik. Eh kemudian makin siang makin banyak pengakuan tidak mudahnya mengajar itu. Syukur bahwa akhirnya orang bisa menjadi sadar, bahwa mengajar itu tidak mudah.

Ada kesadaran baru, bagaimana menjadi guru itu tidak mudah. Jawaban saya dalam semua tampilan yang menyatakan berat selalu sama, tuh anak sendiri, hanya dua paling tiga saja merasa susah, lha kelas minimal 30, dijewer, lapor polisi dan komnas ham.....

Cukup menarik dengan adanya belajar di rumah ini. Beberapa hal patut dicermati dan bisa menjadi pembelajaran;

Pertama, ternyata baru pada paham, jika tidak mudah mengajar itu, apalagi mendidik. Cek saja sendiri bagaimana mereka, para orangtua menyuarakan kesulitan mereka. Ingat bukan mengeluh dan menyuarakan keluhan lho ya, beda jauh maknanya.

Kedua, ini anak, buah cinta mereka, darah daging mereka sendiri. Lha bisa gemes kog, apalagi anak orang lain, jumlahnya bisa puluhan kali lipat lagi. Jadi jika ada jeweran, cubitan, itu masih taraf wajar, jika puluhan anak menderita, masuk rumah sakit, nah itu tugas polisi. Kriminal bukan guru.

Ketiga, anak jelas lebih riuh rendah, antara caper, manja, dan juga becanda, ngerjain maknya pinter atau tidak. Dan mau marah toh ya gak bisa, jengkel dan tidak berdaya  lebih tepat. Ini baru masuk hari ke empat, kemarin konteksnya. Masih ada seminggu ke depan.

Keempat, anak menjadi bebas. Merasa tidak akan ada masalah karena dengan orang tuanya sendiri. Nah bisa berlaku apa saja. Mengerjakan tugas belajar bisa melebar ke mana-mana. Bagus sebenarnya, dna jika bisa kegiatan di sekolah seperti ini menjadi baik.

Kelima, ini bukan soal paedagogi atau masalah psikologi pendidikan. Memang sangat tidak mudah menjadi pendidik itu. Dan kemudian ada kejadian luar biasa ini. Harapannya sih orang tua, pun lembaga-lembaga yang sok melindungi anak jadi lebih mawas diri, tahu betapa tidak enaknya menjadi guru dan pendidik.

Keenam, miris adalah bagaimana anak-anak guru? Siapa yang mendampingi mereka di rumah? Jika SMA, masihlah bisa dilepas, jika SD, dan SMP awal? Ini posisi sebagai orang tua, lha sebagai pribadi? Mereka juga merasa terancam, sangat wajar dan takut itu manusiawi. Dan itu demi hidup bersama dan bernegara dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun